KESBANG.COM, BREBES – Janji Presiden Joko Widodo saat baru menjabat sebagai kepala negara memerintahkan aksi pemberangusan praktik pungutan liar (pungli) yang dilakukan terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) belum terpenuhi. Presiden berjanji akan melakukan tindakan tegas dalam melakukan pemberantasan pungli. Akan tetapi menurut Koordinator Advokasi dan Bantuan Hukum KOMBES, Jamaludin Suryahadikusuma menyatakan bahwa praktek pungli terhadap calon TKI Korea faktanya masih berlangsung hingga kini.
“Pungli terhadap calon TKI Korea sejak jaman Kepala BNP2TKI Jumhur Hidayat hingga sekarang dipimpin Nusron Wahid masih berlangsung. Dari beberapa kuisioner di beberapa daerah dan diskusi TKI di Korea hampir mayoritas para TKI yang bekerja di Korea selatan mengeluarkan biaya ekonomi tinggi (high cost economy). Artinya dibalik keberhasilan para TKI di Korea Selatan sesungguhnya telah mengalami eksploitasi,” tegas Jamal di Brebes, Selasa (26/9/2017).
KOMBES BREBES mencatat, beban biaya resmi yang dibayarkan oleh Calon TKI Korea dimulai saat mengikuti Prelemenary Training, dan juga biaya tidak resmi yang diminta oleh LPK sebagai lembaga pelatihan bahasa yang mencapai puluhan juta dan nilainya bervariasi. Banyak orang tua calon TKI yang akhirnya terpaksa menjual tanah, sawah ataupun akhirnya sertifikat tanahnya menjadi jaminan untuk dana pinjaman. Lalu dimana peran pemerintah untuk membantu program pembiayaan TKI ?
Jamal menjelaskan, persoalan pungli ini sebenarnya juga di ketahui BNP2TKI, karena saat validasi petugas BNP2TKI juga memberikan kuisioner kepada CTKI dan hasilnya banyak CTKI di bebani biaya tinggi oleh LPK, sayangnya hasil tersebut tidak di tindak lanjuti oleh BNP2TKI.
BNP2TKI sepertinya tidak berdaya dan tidak mempunyai kemauan untuk melakukan pembenahan. Padahal Direktur Penempatan pemerintah, Hariyadi sering melakukan pertemuan dengan pihak LPK terkait cost struktur pembiayaan di LPK. Pada pertemuan tanggal 9 Desember 2014 di website BNP2TKI, Hariyadi bersama dengan Dirjen Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas (Binalattas) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) berjanji akan membahas tingginya biaya yang dipungut LPK. Tujuan pertemuan itu untuk menentukan standar biaya yang layak dalam pelatihan.
“Inti pertemuan itu jangan sampai biaya pelatihan keterampilan bahasa itu memberatkan bagi TKI, tapi faktanya tidak ada realisasi,” tegas Jamal.
Mantan Anggota Satgas TKI Terancam Hukuman Mati era Presiden SBY ini menuturkan bahwa kondisi ini berbanding terbalik dengan kontribusi devisa TKI yang begitu dari Korea selatan yaitu yang mencapai Rp2,6 Triliun per tahun. Semestinya harus ada peningkatan pelayanan dan perlindungannya terutama saat pra penempatan. Dan ini sangat miris karena justru permasalahan ada di dalam negeri. (Teb)