Jakarta, KESBANG NEWS — Di tengah gemuruh tradisi yang abadi, Upacara CERAU bentuk modern dari ritual sakral Rajasūya atau Beluluh telah digelar dengan khidmat di Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara. Upacara pendaulatan ini menandai naik tahta Duli Yang Maha Mulia Sri Paduka Baginda Berdaulat Agung Maharaja Srinala Praditha Alpiansyah Rechza Fachlevie Wangsawarman, Maharaja Kutai Mulawarman, sebagai pewaris sah silsilah kerajaan tertua di Nusantara.
Dalam prosesi yang penuh makna, Beliau menerima tempong tawer simbol legitimasi adat langsung dari tangan Sekretaris Kesultanan Kutai Kartanegara, utusan resmi Sultan, disertai surat restu yang mengukuhkan penyelenggaraan upacara ini. Kehadiran para pemuka adat, pejabat pemerintah daerah, dan masyarakat Muara Kaman menyemarakkan acara, di mana pesan Sultan disampaikan: dukungan penuh untuk pemulihan marwah adat dan budaya sebagai warisan luhur bangsa.
Kerajaan Kutai Mulawarman, berpusat di Muara Kaman, bukan sekadar nama dalam sejarah; ia adalah fondasi peradaban Indonesia. Tercatat dalam Prasasti Yupa abad ke-4 Masehi ditulis dengan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta oleh Maharaja Sri Mulawarman Naladewa kejayaan kerajaan ini menjadi titik awal hukum dan budaya Nusantara. Pengaruh Hindu dari India, serta interaksi dengan pedagang Tiongkok, memperkaya sistem sosial, keagamaan, dan hukumnya. Entitas awal seperti Kerajaan Sagara dan Malaya menjadi pondasi bagi warisan yang kini dihidupkan kembali oleh Kerajaan Kutai Martadipura, dikenal juga sebagai pewaris sah hukum adat dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
CERAU bukan hanya ritual peneguhan Maharaja, melainkan tonggak kebangkitan kedaulatan adat di era modern. Melalui Keputusan Dewan Adat Tertinggi Kerabat Kerajaan Kutai Mulawarman Nomor 09-09-2013, Hukum Kalpa Kerajaan Kutai Mulawarman ditetapkan sebagai tata hukum adat yang selaras dengan Pancasila dan UUD 1945. Hukum ini mengatur pelestarian nilai, norma, dan sistem sosial, termasuk hak turun-temurun atas tanah waris di Benua Lawas dan Tebalai Indah—bekas ibu kota kerajaan kuno.
Kini, CERAU ditetapkan sebagai upacara tahunan dengan semboyan luhur Tuah Emba Arai, yang bermakna kemuliaan leluhur sebagai sumber kekuatan hidup. Simbol Lembu Ngeram perlambang kesabaran, kebijaksanaan, dan keagungan batin Tantrayana Mulawarman menjadi pengingat nilai spiritual yang diwariskan turun-temurun.
Pelaksanaan CERAU 2001 ini menjadi momentum resmi kembalinya kedaulatan adat dan kebudayaan Kerajaan Kutai Mulawarman. Sebagaimana ditegaskan Duli Yang Maha Mulia:
“Hukum adat adalah jiwa bangsa. Ia bukan masa lalu, melainkan napas yang menuntun masa depan.”
Duli Yang Maha Mulia Sri Paduka Baginda Berdaulat Agung Maharaja Kutai Mulawarman, Prof. Dr. M.S.P.A. Iansyah Rechza, FW., Ph.D.
Upacara ini, sebagai aset kebudayaan nasional, terus dilestarikan setiap tahun oleh Kerajaan Kutai Mulawarman sebuah sistem hukum adat yang hidup dan berdaulat di bawah perlindungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.(R)
Kembalinya Maharaja Kutai: CERAU 2001, Simbol Kebangkitan Adat Nusantara
Klik:
https://youtube.com/shorts/ftPQ5O_IN_8?si=iuAu3gKSdqlpSRW9
Editor: Endi