Jakarta, Kesbangnews.com – Kebijakan pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang menerbitkan Keputusan Menteri Nomor: 391.K/MB.01/MEM.B/2025 yang mengatur tarif denda administratif bagi pelanggaran kegiatan usaha pertambangan di kawasan hutan mendapat sorotan tajam dari Sekretaris Umum (Sekum) Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey.
Menurut ibu Meidy, pemerintah bisa menerapkan kebijakan “win-win solution” tanpa harus merugikan pelaku usaha dan perusahaan tambang nikel melalui deposit fund, dana disaster dan eksplorasi mineral lain semacam rare earth (logam tanah jarang).
“Pemerintah khan bisa ambil dana deposit fund dari hasil produksi perusahaan nikel yang masih berproduksi. Dari dana disaster juga bisa atau dari hasil eksplorasi lahan bukaan supaya kita bisa dapat mineral-mineral lain semacam rare earth (logam tanah jarang),” ungkap Meidy Katrin seusai diskusi strategis bertajuk “Konsolidasi Industri Nikel Dalam Merespons Kebijakan Denda Pertambangan, di Hotel Sultan Jakarta, Selasa (16/12/2025).
Padahal sebut Meidy, rare earth sendiri punya harga dan nilai sangat tinggi di pasar dunia sehingga menjadi “harta karun” baru untuk membantu ekonomi nasional.
“Apalagi sekarang ini rare earth lagi happening harganya selangit. Kenapa itu tidak menjadi fokus pemerintah mendukung perusahaan tambang untuk eksplorasi lebih lanjut. Padahal saat ini ada juga perusahaan tambang nikel yang tidak beroperasi lagi ini jelas tidak fair, mereka mau bayar denda pakai apa,”lanjut ibu Meidy.
“Nah, ambil dari dana itu. Artinya, circle-nya dapat. Perusahaan tetap running, tapi negara nggak lost. Negara nggak lost, penerimaan negara naik. Kontrol diproduksi, pada saat kontrol diproduksi, harganya jadi naik”.
Sebelumnya Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menerbitkan Keputusan Menteri Nomor: 391.K/MB.01/MEM.B/2025 yang mengatur tarif denda administratif bagi pelanggaran kegiatan usaha pertambangan di kawasan hutan. Besaran tarif denda administratif bervariasi tergantung jenis komoditas, dengan nikel dikenakan denda sebesar Rp6,502 miliar per hektare, bauksit Rp1,761 miliar per hektare, timah Rp1,251 miliar per hektare, dan batu bara Rp354 juta per hektare.
“Bagi perusahaan tambang nikel itu jelas tidak fair. Pertama, dari sisi perbedaan denda dengan komoditas lain. Masa kita perusahaan nikel dikenakan denda administratif sebesar Rp 6,5 miliar per hektare itu jauh banget dengan batu bara yang hanya Rp 350 juta per hektare. Kedua, kalau kita bandingkan dengan harga, coba harga batu bara berapa sekarang ? Selain itu dari dari segi lahan produksi nikel dan batu bara saja sudah beda itu. Ini jelas tidak “make sense” ya. Belum lagi perlakuan satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) ke perusahaan juga beda terkesan tebang pilih, ini tidak fair dan harus menjadi perhatian pemerintah gitu loh supaya kedepannya tidak ada yang dirugikan terutama perusahaan tambang nikel,” pungkas Meidy Katrin Lengkey.(R)










