ADAKAH PERMAINAN ANTARA BOBBY NASUTION DAN OKNUM KPK DI KASUS KORUPSI?
Oleh: Saiful Huda Ems.
Beberapa media mainstream seperti Kompas.com, Metrotv, Inilah.com dll., telah memberitakan adanya pelaporan oleh Koalisi Aktivis Mahasiswa Indonesia (KAMI), terhadap penyidik KPK yang bernama Rossa Purbo Bekti.
KAMI telah melaporkan AKBP Rossa Purbo Bekti ini pada KPK dan khususnya pada Dewan Pengawas KPK, pada hari Senin (17/11/2025), terkait dugaan upaya penghambatan proses hukum terhadap menantu Jokowi, yakni Bobby Nasution dalam kasus dugaan rasuah proyek jalan di SUMUT.
Sebagaimana publik ketahui, proses hukum penyidikan kasus rasuah proyek jalan di SUMUT ini telah memakan waktu yang sangat lama, namun ironisnya KPK telah memutuskan untuk tidak memanggil Bobby Nasution (Gubernur SUMUT) –yang diduga ikut terlibat–minimal sebagai saksi.
Dan karena KAMI telah mendapatkan laporan, bahwa ada oknum penyidik KPK, yakni Rossa Purbo Bekti telah diduga menghambat proses hukum terhadap Bobby Nasution, maka wajar kiranya jika perwakilan dari pelapor KAMI, yakni Yusril dkk., kemudian melaporkannya ke KPK, khususnya pada Dewas pada Senin (17/11/2025) kemarin.
Yusril mengatakan pada media kelompoknya mendapatkan informasi, bahwa Rossa merupakan Kepala Satuan Tugas dalam kasus rasuah proyek jalan di SUMUT. AKBP Rossa dinilainya menghambat proses penyidik mencari keterlibatan Bobby dalam kasus yang diusut.
Karenanya KAMI meminta Dewan Pengawas KPK untuk memberikan hukuman pada AKBP Rossa. Sebab keterlibatan Bobby tidak diungkap penyidik, bahkan setelah diminta oleh Majelis Hakim yang menyidangkan perkara ini.
AKBP Rossa Purbo Bekti ini dalam pengamatan saya, memang beberapakali telah membuat masalah dalam jalannya proses penyidikan di KPK. Masih ingatkah kita dengan tindakanya dahulu, ketika Rossa meminta keterangan dari Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto? Hasto saat itu seperti tidak sedang dimintai keterangan, namun lebih mirip dengan diintrogasi oleh penyidik.
Hasto dibiarkan berjam-jam di ruang penyidik KPK untuk kasus daur ulang suap Harun Masiku (HM), yang sebenarnya tidak melibatkan dirinya, sebagaimana yang sudah diputuskan oleh Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus 2020.
Namun Rossa seolah tetap memaksakan Hasto terlibat dalam persoalan HM tersebut. Karenanya saat Rossa dipanggil sebagai Saksi Fakta di pengadilan, ia sama sekali tidak bisa membuktikan jika Hasto terlibat. Malahan yang terjadi, Rossa seperti orang bodoh yang plonga-plongo dan banyak berhalusinasi ketika ia dicecar oleh kuasa hukum Hasto yang cerdas-cerdas itu.
Selain itu perlakuan Rossa terhadap sekretaris pribadi Hasto, Kusnadi yang tidak tahu apa-apa soal kasus HM, ketika itu Rossa menghampirinya seperti preman yang merebut 3 buah ponsel milik Hasto dan buku catatan partai milik Hasto sebagai Sekjen PDIP yang dipegang Kusnadi.
Rossa datang menghampiri Kusnadi menggunakan topi dan masker, serta membohongi Kusnadi yang katanya dipanggil bosnya, yakni Hasto. Kesewenang-wenangan oknum penyidik KPK pada Kusnadi ini kemudian dilaporkan juga oleh tim kuasa hukum Hasto pada Dewas KPK.
Namun Dewas KPK tidak memberinya hukuman apa-apa pada Rossa, padahal tindakan Rossa tersebut telah menghancurkan marwah KPK sebagai lembaga anti rasuah, yang didirikan dengan tujuan yang sangat mulia, yakni memberantas korupsi dan yang sebelumnya keberadaannya sangat dihormati rakyat.
Karenanya para pencari keadilan sekarang lebih nyaman lapor ke Kejaksaan daripada ke KPK, dan fakta menunjukkan bahwa penyitaan hasil korupsi besar-besaran, saat ini justru lebih banyak ditunjukkan oleh Kejaksaan Agung daripada oleh lembaga KPK yang nampaknya lebih hormat dan tunduk pada Jokowi, daripada hormat dan tunduk pada hukum.
Fikirkan saja, mengapa Rossa berani mengkriminalisasi Hasto dan sekarang mengapa Rossa berani menolak penggeledahan rumah Bobby Nasution, dan bahkan menolak usulan penyidik KPK untuk memanggil Bobby Nasution guna dimintai kesaksiannya di pengadilan?
Bukankah ketika penyidik KPK mendatangi dan menggeledah rumah Hasto yang tak bersalah apa-apa saja, penyidik KPK telah mengerahkan personilnya banyak sekali, bermobil-mobil, seperti drama di film-film action, dimana Polisi menyerbu rumah penjahat?
Lucunya penyidik KPK ketika itu hanya bisa membawa koper Hasto, padahal isinya hanya satu buah flashdisk yang kecil. Masak untuk membawa satu flashdisk saja, penyidik KPK harus memasukkannya di koper besar? Biar seolah-olah hasil penggeledahannya di rumah Hasto sangat waaaah gitu ya?
Cobalah sekarang penyidik KPK berani mendatangi rumah Bobby Nasution di Medan dan Jakarta, dengan bertruk-truk personil untuk melakukan penggeledahan gitu, biar penyidik KPK terlihat lebih adil dan terkesan berani menghadapi menantu Jokowi.
Kalau penyidik KPK tidak berani melakukan hal itu pada Bobby, berarti KPK seperti yang dikatakan oleh banyak orang, telah dikendalikan orang kuat dari jauh.
Lalu adakah sesungguhnya yang mengendalikan atau meremote Rossa selama ini dari jauh? Adakah Rossa selama ini menerima orderan khusus dari Solo, yang mana dia sangat ngebet ingin memenjarakan Hasto, yang dianggapnya selalu kritis pada Ketua Genk Solo itu?
Bagaimana pula perasaan Pak Mulyono, Pahlawan Tanpa Ijazah yang bermarkas di Solo itu tahu, bahwa ternyata orang-orang yang dikriminalisasikannya (Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong) dilepaskan oleh Presiden Prabowo melalui kebijakan amnesti dan abolisinya? Kecewanya bukan main ya?
Saya tidak tahu bagaimana kecewanya Pak Mulyono di Solo saat itu, ketika ia tahu kedua lawan politiknya yang kritis seperti Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong dibebaskan oleh Presiden Prabowo ketika itu.
Namun yang saya tahu untuk soal Rossa Purbo Bekti dan Bobby Nasution saat ini, keduanya tak ubahnya seperti penguasa yang berdiri di atas tiang keadilan rapuh yang dibangunnya sendiri. Keduanya seperti tak pernah dapat disentuh oleh hukum.
Kendatipun demikian jangan lupa selain hukum yang dibuat oleh manusia, ada pula hukum alam (Sunatullah) yang sudah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa, siapa yang berbuat ketidak adilan, suatu ketika akan jatuh tersungkur jua ! Sapere aude !…(SHE).
18 November 2025.
Saiful Huda Ems (SHE). Lawyer, Analis Politik dan Aktivis ’98.








