Bamsoet Yakin Pemerintah Tidak Ragu Anugerahkan Gelar Pahlawan Nasional kepada Mantan Presiden Soeharto*

Nasional18 views

 

*JAKARTA* – Anggota DPR RI sekaligus Ketua MPR RI periode 2019–2024, Bambang Soesatyo, yakin Presiden Prabowo Subianto tidak ragu menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto. Mengingat dasar hukum, dukungan dan proses politiknya di Sidang Paripurna MPR RI yang melibatkan seluruh fraksi dari unsur DPR RI dan unsur DPD RI di MPR RI sama kuatnya dengan keputusan MPR RI memulihkan nama baik dan martabat Sang Proklamato sekaligus Presiden RI Pertama Soekarno serta Presiden keempat Abdurahman Wahid. Sehingga tidak ada lagi hambatan hukum, politik, maupun administratif bagi negara untuk memberikan penghormatan tertinggi kepada sosok yang telah memimpin Indonesia selama lebih dari tiga dekade dan meletakkan fondasi kokoh bagi pembangunan nasional.

Keputusan itu disahkan dalam
Sidang Akhir Masa Jabatan MPR 2019-2024 yang dihadiri lebih dari dua pertiga anggota MPR dari unsur DPR dan DPD. Sebelum sampai pada tahap pengesahan, keputusan tersebut telah melalui serangkaian rapat intensif. Rapat Gabungan Pimpinan MPR dengan seluruh pimpinan fraksi dan kelompok DPD pada 23 September 2024 menjadi forum penting yang menandai konsensus nasional. Dari situ, lahir kesepakatan politik yang jarang terjadi. Semua fraksi MPR dan kelompok DPD sepakat mengakhiri
perdebatan panjang sejarah terkait tiga Presiden Indonesia tersebut.

“Setelah MPR RI periode 2019-2024 memulihkan nama baik mantan Presiden Soekarno dan Aburahman Wahud serta mencabut nama mantan Presiden Presiden Soeharto dari pasal 4 TAP MPR Nomor XI/MPR/1998, maka tidak ada lagi penghalang hukum atau politik. Kini saatnya bangsa ini memberikan penghormatan yang pantas kepada almarhum Presiden Soeharto atas jasa dan pengabdian luar biasanya terhadap bangsa dan negara Indonesia,” ujar Bamsoet di Jakarta, Jumat (7/11/25).

Ketua DPR RI ke-20 dan Ketua Komisi III DPR RI ke-7 ini menjelaskan, dengan berakhirnya polemik hukum, pemerintah memiliki dasar moral dan historis yang kuat untuk memberikan penghargaan negara kepada Presiden Soeharto. Seluruh kriteria dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan juga telah dipenuhi oleh mantan Presiden Soeharto. Pemberian gelar pahlawan nasional bukan semata penghormatan simbolis, tetapi juga bentuk pengakuan negara atas pengabdian dan jasa besar seorang pemimpin yang membangun bangsa dengan visi jauh ke depan.

“Presiden Prabowo Subianto memiliki kesempatan bersejarah untuk meneguhkan rekonsiliasi nasional. Pemberian gelar ini bukan semata penghormatan kepada individu, tetapi juga penegasan bahwa bangsa Indonesia mampu berdamai dengan masa lalunya dan menatap masa depan dengan kebanggaan,” kata Bamsoet.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan Wakil Ketua Umum Koordinator bIdang Politik, Pertahanan & Keamanan KADIN Indonesia ini memaparkan berbagai capaian monumental di masa kepemimpinan Presiden Soeharto. Data Bank Dunia menunjukkan sepanjang tahun 1967 hingga 1997, pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata mencapai 6–7 persen per tahun. Angka kemiskinan turun signifikan dari sekitar 60 persen pada 1970-an menjadi sekitar 11 persen pada 1996. Pemerataan pembangunan juga mulai terasa di berbagai wilayah melalui proyek transmigrasi, industrialisasi, serta penguatan sektor pertanian.

“Program pembangunan nasional yang digagas Pak Harto telah membawa jutaan rakyat Indonesia keluar dari kemiskinan. Itu fakta sejarah yang tidak bisa dihapus. Dengan kepemimpinan beliau, Indonesia tumbuh menjadi negara yang diperhitungkan di kawasan regional,” urai Bamsoet.

Wakil Ketua Umum/Kepala Badan Bela Negara FKPPI dan Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menuturkan, keberhasilan sektor pertanian menjadi tonggak penting dalam sejarah pemerintahan Soeharto. Melalui program Bimas, Inmas, dan Revolusi Hijau, Indonesia berhasil mencapai swasembada beras pada tahun 1984. Presiden Soeharto bahkan menerima penghargaan dari FAO (Organisasi Pangan Dunia) atas capaian tersebut. Pencapaian ini menjadi bukti nyata keberhasilan membangun ketahanan pangan nasional.

Di bidang infrastruktur, Presiden Soeharto menjadi pelopor pembangunan besar-besaran yang menopang ekonomi hingga saat ini. Jalan Tol Jagorawi yang diresmikan pada 1978 menjadi proyek tol pertama di Indonesia dan menjadi inspirasi jaringan tol nasional yang kini mencapai ribuan kilometer. Selain itu, pembangunan waduk, jembatan, pelabuhan, bandara, hingga pabrik pupuk dan semen menjadi tonggak industrialisasi nasional.

“Warisan infrastruktur Pak Harto adalah pondasi yang masih digunakan hingga sekarang. Beliau membangun dengan visi jangka panjang. Kita hari ini masih terus menikmati hasil kerja kerasnya,” jelas Bamsoet.

Dosen tetap pascasarjana Universitas Pertahanan (Unhan), Universitas Jayabaya, dan Universitas Borobudur ini menambahkan, di bidang sosial dan politik Presiden Soeharto berhasil menjaga stabilitas nasional dalam jangka panjang, yang memungkinkan Indonesia fokus membangun ekonomi dan pendidikan. Pemerintahannya berhasil menekan inflasi yang sempat mencapai ratusan persen di awal 1966 menjadi satu digit dalam beberapa tahun, serta mendorong tumbuhnya kelas menengah baru di berbagai daerah.

“Mantan Presiden Soeharto bukan hanya pemimpin pembangunan, tetapi juga pemersatu bangsa. Beliau telah membuktikan kepemimpinan yang membawa perubahan besar. Sudah sepantasnya negara memberi penghormatan tertinggi dengan gelar pahlawan nasional,” pungkas Bamsoet.

*Rekonsiliasi Nasiona*

Sejarah bangsa Indonesia memasuki babak baru yang sarat makna dan refleksi mendalam. Pada 25 September 2024, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) periode 2019–2024 yang dipimpin oleh Bambang Soesatyo dari Fraksi Partai Golkar menorehkan keputusan monumental, mencabut tiga Ketetapan MPR yang selama puluhan tahun menjadi catatan kelam dalam perjalanan sejarah republik. Dalam satu langkah politik yang menyatukan seluruh fraksi dan kelompok DPD, MPR RI resmi memulihkan nama baik tiga Presiden Republik Indonesia, yakni Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, dan Presiden Abdurrahman Wahid.

TAP MPR yang dicabut adalah TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Soekarno; TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; serta TAP MPR Nomor II/MPR/2021 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia KH Abdurrahman Wahid.

Keputusan ini disahkan dalam Sidang Akhir Masa Jabatan MPR 2019–2024 yang dihadiri lebih dari dua pertiga anggota MPR dari unsur DPR dan DPD. Sebelum sampai pada tahap pengesahan, keputusan tersebut telah melalui serangkaian rapat intensif. Rapat Gabungan Pimpinan MPR dengan seluruh pimpinan fraksi dan kelompok DPD pada 23 September 2024 menjadi forum penting yang menandai konsensus nasional. Dari situ, lahir kesepakatan politik yang jarang terjadi. Semua fraksi MPR dan kelompok DPD sepakat mengakhiri perdebatan panjang sejarah terkait tiga Presiden Indonesia tersebut.

*1. Soekarno dan pencabutan TAP MPR No 33 Tahun 1967*

Melalui Fraksi PDIP perjuangan yang mengirimkan surat kepada pimpinan MPR RI untuk pemulihan nama baik dan pemenuhan hak-hak Soekarno selama menjabat sebagai Presiden Pertama RI sebagaimana tercantum dalam TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 yang secara tersirat menuding Presiden Soekarno, telah melakukan pengkhianatan terhadap negara dan mendukung pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Fraksi PDI-P menegaskan bahwa hal tersebut tidak benar dan tidak terbukti. Sehingga sejarah harus diluruskan.

Pencabutan TAP MPR Nomor 33 Tahun 1967 itu menindaklanjuti TAP MPR Nomor 1 Tahun 2003, untuk meninjau kembali status hukum TAP MPR Nomor 33 Tahun 1967.

Pencabutan TAP MPR tersebut dilakukan karena tuduhan keterlibatan Soekarno dengan gerakan pemberontakan PKI pada penghujung September 1965 itu tidak terbukti setelah TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tidak berlaku lagi. Selain menghapus tuduhan terhadap Soekarno, pencabutan TAP MPRS Nomor 33 juga untuk penghargaan dan pemulihan martabat Sang Proklamator.

Surat penegasan pemulihan nama baik dan pemulihan martabat Sang Proklamator termasuk mengembalikan hak-hak Soekarno melalui pencabutan dari pimpinan MPR RI itu diserahkan langsung kepada keluarga Bung Karno, di antaranya Presiden Kelima RI Megawati Soekarnoputri, Guntur Soekarnoputra, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra, di Kompleks Parlemen Jakarta, tanggal 9 September 2024.

*2. Soeharto dan penghapusan TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998*

Pencabutan TAP MPR terkait Presiden Soeharto dimulai dari Permintaan Fraksi Partai Golkar yang mengirimkan surat kepada pimpinan MPR RI untuk mencabut nama Presiden Soeharto dari pasal 4 TAP MPR No. 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, pada tanggal 18 September 2024.

Permohonan tersebut ditindaklanjuti dan dibahas dalam Rapat Gabungan Pimpinan Fraksi MPR dan Kelompok DPD pada tanggal 25 September 2024. Hasil rapat gabungan memutuskan pencabutan nama Soeharto dari pasal 4 TAP MPR No. 11 Tahun 1998 tersebut sebagai langkah lanjutan dari surat Fraksi Partai Golkar.

Dasar pertimbangan utama dicabutnya nama Soeharto dari pasal 4 TAP MPR No. 11 Tahun 1998 karena Soeharto telah meninggal dunia pada tanggal 27 Januari 2008. Sesuai dengan ketentuan pada Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), maka ada kewenangan menuntut pidana hapus, jika tertuduh meninggal dunia.

Selain itu, sebelumnya telah terbit Surat Ketetapan Perintah Penghentian Penuntutan (SKP3) pada tahun 2006 oleh Kejaksaan Agung, sesuai ketentuan pasal 140 ayat (1) KUHAP. Penghentian ini juga tertuang dalam Keputusan Mahkamah Agung No 140 PK/Pdt/2015 karena alasan penyakit permanen yang diderita Soeharto kala itu.

Merujuk pada Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, dikelompokkan ke dalam kategori Ketetapan MPR yang dinyatakan “tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Undang-Undang”.

Selanjutnya, pada pasal 4 angka 2 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003, keberlakuannya dipertegas dengan rumusan “sampai terlaksananya seluruh ketentuan dalam Ketetapan tersebut”. Artinya, pemberlakuan ketentuan pasal 4 Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 yang secara eksplisit menyebutkan nama mantan Presiden Soeharto, tolok ukur pemberlakuannya adalah implementasi dari ketentuan pada pasal 4 tersebut.

Meski Keputusan tersebut tidak menghapus konsekwensi perdata dari TAP MPR Nomor XI/MPR/1998, namun melalui keputusan MPR dalam Sidang MPR RI Akhir Masa Jabatan 2019-2024 tanggal 25 September 2024 itu, penyebutan nama Soeharto secara eksplisit dalam pasal 4 dicabut dan dinyatakan sudah selesai dilaksanakan dan tidak lagi relevan secara hukum maupun politik.

Keputusan MPR untuk menghapus nama Soeharto tertuang dalam Surat Jawaban Pimpinan MPR No B-1372I/HK.00.00/B-VII/MPR/09/2024 tertanggal 24 September 2024, diberikan langsung kepada keluarga Presiden Soeharto, yakni Siti Hardijanti Hastuti Rukmana (Tutut Soeharto) dan Siti Hediati Hariyadi (Titiek Soeharto) di Kompleks Parlemen Jakarta, tanggal 28 September 2024.

Adapun pasal 4 TAP MPR 11/1998 soal Soeharto yang diteken pada tanggal 13 November 1998 di berbunyi:

“Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak, asasi manusia.”

Kini pasal itu tinggal bagian sejarah. Presiden Soeharto yang selama dua dekade memimpin Indonesia, kembali dikenang secara lebih seimbang. Bukan semata dari tuduhan politik, melainkan juga kontribusinya terhadap pembangunan infrastruktur, stabilitas ekonomi, dan swasembada pangan di masa jayanya.

*3. Gus Dur dan pencabutan TAP MPR Nomor 2 Tahun 2001*

MPR juga resmi mencabut Ketetapan (TAP) MPR Nomor II Tahun 2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Abdurrahman Wahid pada Sidang MPR RI Akhir Masa Jabatan periode 2019–2024.

Pencabutan tersebut bermula saat pimpinan MPR menerima surat dari Fraksi Kebangkitan Bangsa MPR Nomor 082/FPKBMPR/09/2024 yang mengusulkan pengkajian kembali pasal 1 TAP MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid. Dengan tindakan administratif sebagai penegasan bahwa TAP MPR Nomor II/MPR/2001 tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi, dalam kerangka pemulihan nama baik Presiden RI Abdurrahman Wahid.

Merujuk pada ketentuan pasal 6 TAP MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, bahwa TAP MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid, adalah TAP MPR yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut. Baik karena bersifat einmalig (final), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan.

Pimpinan MPR melalui surat kepada Fraksi Kebangkitan Bangsa MPR menegaskan bahwa bahwa TAP MPR Nomor II/MPR/2001, saat ini kedudukan hukumnya tidak berlaku lagi. Dokumen tembusan surat diberikan kepada Keluarga besar mantan Presiden Abdurrahman Wahid, yakni Shinta Nuriyah Wahid, Alissa Qotrunnada Munawaroh, Zannuba Ariffah Chafsoh, Anita Hayatunnufus, serta Inayah Wulandari di Kompleks Parlemen Jakarta, tanggal 29 September 2024.

Adapun TAP MPR Nomor II/MPR/2001 ditetapkan di Jakarta pada 23 Juli 2001, berbunyi:

Pasal 1
Ketidakhadiran dan penolakan Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid untuk memberikan pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tahun 2001 serta penerbitan Maklumat Presiden Republik Indonesia tanggal 23 Juli 2001, sungguh-sungguh melanggar haluan negara.

Pasal 2
Memberhentikan K.H. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden Republik Indonesia dan mencabut serta menyatakan tidak berlaku lagi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia.

Pasal 3
Ketetapan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Langkah MPR RI periode 2019-2024 di bawah kepemimpinan Bambang Soesatyo merupakan upaya serius mengakhiri “politik dendam” yang selama ini mewarnai perjalanan bangsa. Dengan mencabut tiga TAP MPR yang selama puluhan tahun menjadi warisan polemik, MPR berusaha mengembalikan semangat konstitusionalisme, yakni menegakkan keadilan sejarah tanpa mengaburkan fakta.

Dari Soekarno yang dilengserkan tanpa proses pengadilan, Soeharto yang menjadi simbol kontroversi reformasi, hingga Gus Dur yang dijatuhkan oleh intrik politik, semuanya kini dipulihkan dalam bingkai kehormatan kenegaraan.

Negara besar adalah negara yang berani mengakui luka masa lalunya, kemudian menyembuhkannya dengan kejujuran dan kebijaksanaan. (*)

News Feed