Beda Pilihan, Satu Demokrasi Pilihan, Satu Demokrasi Oleh Rusdy Setiawan Putra (Wartawan Senior) PADA tahun 1987, sekira bulan Agustus, saat pertama kali saya memasuki halaman kampus Universitas Nasional, di Pejaten, Pasarminggu, Jakarta Selatan. Pagi itu, cakrawala cerah, tidak ada awan hitam menggantung di langit. Sejauh mata memandang tampak terlihat langit biru lazuardi membentang dari barat ke timur, dan dari selatan ke utara. Cahaya matahari merata memenuhi ruang dan waktu. Saya bertemu dengan beberapa teman yang menyudut dan berbicara satu sama lain. Saya mendekati mereka dan ikut nimbrung bicara ngalor-ngidul. Terjadi komunikasi horizontal dalam kesetaraan dengan tema-tema politik, demokrasi, HAM, kontestasi dan lain-lain. Ketika tiba berbicara terkait Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden (Pilpres), masing-masing punya pilihan yang berbeda. Suasana itulah yang sekarang terjadi di mana-mana di belahan bumi Indonesia. Tapi, jika melihat dinamika politik saat ini— yang menjurus pada kompetisi pragmatis di antara pihak berbeda pilihan politik. Maka vibrasi dan aksentuasi pesan tersebut perlu didengungkan kembali, bahwa kita memang berbeda pilihan tapi tetap bersaudara dalam dinamika berdemokrasi. Adalah wajar jika pemilu yang dalam realitas politik berujung pada perebutan kekuasaan selalu diwarnai dengan kerasnya persaingan politik. Tetapi, jangan sampai pertarungan yang muncul menabrak koridor etika dan aturan politik, apalagi hukum. Hal ini jangan menjadikan pesta demokrasi ini sebagai arena konflik kekuasaan yang menjatuhkan satu sama lain. Persoalan tersebut perlu digarisbawahi karena fakta-fakta tersaji saat ini bukan sekadar sebatas saling serang di antara tim sukses atau pendukung masing-masing pasangan calon presiden, tapi banyak diwarnai cacimaki dan bahkan saling fitnah melalui informasi hoaks. Sejak Era Reformasi di paruh awal 1998, Indonesia sudah melewati beberapa kali pemilu demokratis. Bahkan negeri ini sudah menahbiskan diri sebagai salah satu negeri demokrasi terbesar di dunia. Semestinya semua elemen bangsa mampu mendorong dinamika kemajuan kedewasaan berpolitik di Indonesia. Bukan malah membiarkan pragmatisme mengendalikan politik, dan bahkan bersama-sama menjerumuskan demokrasi itu sendiri. Harapan ini bisa terwujud jika aktor utama politik, tim kampanye, partai politik pendukung — berkomitmen bersama-sama menjaga koridor etika dan aturan main politik yang telah disepakati bersama. Dengan demikian, warna persaingan pilpres lebih didominasi adu gagasan dan program sehingga resonansi yang muncul di massa pendukung adalah rasionalitas, bukan emosionalitas. Selanjutnya semua pihak menempatkan pemilu sebagai prosedur demokrasi lima tahunan biasa. Bukan perebutan kekuasaan yang harus dibela dan diperjuangkan mati-matian dan di sisi lain menggunakan berbagai cara menghabisi lawan. Jika variabel-variabel itu terwujud, pemilu akan menjadi pendidikan politik yang mencerdaskan masyarakat dan kian meneguhkan persatuan bangsa, bukan menghadirkan perpecahan. Namun, bila para elite dan pemilih berpandangan bahwa menang pemilu itu segalanya, maka kontestasi yang kompetitif itu tidak akan pernah tercapai. Pasalnya, mereka menganggap pemilu sebagai pertaruhan martabat, harga diri, dan segalanya. Sebaliknya, pemilu bukan lagi kontestasi natural lima tahunan yang mengedepankan kompetisi yang kompetitif. Dengan latar kondisi tersebut, tak heran jika saat ini diskursus di ruang publik yang dipenuhi dengan ujaran kebencian dan narasi-narasi provokatif kian marak. Situasi tersebut diperparah dengan ulah elite yang memperkeruh suasana. Padahal, semestinya mereka menjadi penuntun dan pemandu pemilih, bukan malah menjadi medium provokasi baru. Hasilnya, di ujung jalan demokrasi dalam konteks Pemilihan Presiden (Pilpres), hanya beberapa orang saja yang menikmati lezatnya bagi-bagi kue kekuasaan, jabatan dan indahnya warna-warni uang APBN. Mereka yang berdiri di belakang, biarkan dan lupakan saja. Habis perkara.

Nasional49 views

 

Oleh Rusdy Setiawan Putra
(Wartawan Senior)

PADA tahun 1987, sekira bulan Agustus, saat pertama kali saya memasuki halaman kampus Universitas Nasional, di Pejaten, Pasarminggu, Jakarta Selatan. Pagi itu, cakrawala cerah, tidak ada awan hitam menggantung di langit. Sejauh mata memandang tampak terlihat langit biru lazuardi membentang dari barat ke timur, dan dari selatan ke utara. Cahaya matahari merata memenuhi ruang dan waktu.

Saya bertemu dengan beberapa teman yang menyudut dan berbicara satu sama lain. Saya mendekati mereka dan ikut nimbrung bicara ngalor-ngidul. Terjadi komunikasi horizontal dalam kesetaraan dengan tema-tema politik, demokrasi, HAM, kontestasi dan lain-lain.

Ketika tiba berbicara terkait Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden (Pilpres), masing-masing punya pilihan yang berbeda. Suasana itulah yang sekarang terjadi di mana-mana di belahan bumi Indonesia.

Tapi, jika melihat dinamika politik saat ini— yang menjurus pada kompetisi pragmatis di antara pihak berbeda pilihan politik. Maka vibrasi dan aksentuasi pesan tersebut perlu didengungkan kembali, bahwa kita memang berbeda pilihan tapi tetap bersaudara dalam dinamika berdemokrasi.

Adalah wajar jika pemilu yang dalam realitas politik berujung pada perebutan kekuasaan selalu diwarnai dengan kerasnya persaingan politik. Tetapi, jangan sampai pertarungan yang muncul menabrak koridor etika dan aturan politik, apalagi hukum.

Hal ini jangan menjadikan pesta demokrasi ini sebagai arena konflik kekuasaan yang menjatuhkan satu sama lain.

Persoalan tersebut perlu digarisbawahi karena fakta-fakta tersaji saat ini bukan sekadar sebatas saling serang di antara tim sukses atau pendukung masing-masing pasangan calon presiden, tapi banyak diwarnai cacimaki dan bahkan saling fitnah melalui informasi hoaks.

Sejak Era Reformasi di paruh awal 1998, Indonesia sudah melewati beberapa kali pemilu demokratis. Bahkan negeri ini sudah menahbiskan diri sebagai salah satu negeri demokrasi terbesar di dunia. Semestinya semua elemen bangsa mampu mendorong dinamika kemajuan kedewasaan berpolitik di Indonesia.

Bukan malah membiarkan pragmatisme mengendalikan politik, dan bahkan bersama-sama menjerumuskan demokrasi itu sendiri.

Harapan ini bisa terwujud jika aktor utama politik, tim kampanye, partai politik pendukung — berkomitmen bersama-sama menjaga koridor etika dan aturan main politik yang telah disepakati bersama. Dengan demikian, warna persaingan pilpres lebih didominasi adu gagasan dan program sehingga resonansi yang muncul di massa pendukung adalah rasionalitas, bukan emosionalitas.

Selanjutnya semua pihak menempatkan pemilu sebagai prosedur demokrasi lima tahunan biasa. Bukan perebutan kekuasaan yang harus dibela dan diperjuangkan mati-matian dan di sisi lain menggunakan berbagai cara menghabisi lawan.

Jika variabel-variabel itu terwujud, pemilu akan menjadi pendidikan politik yang mencerdaskan masyarakat dan kian meneguhkan persatuan bangsa, bukan menghadirkan perpecahan.

Namun, bila para elite dan pemilih berpandangan bahwa menang pemilu itu segalanya, maka kontestasi yang kompetitif itu tidak akan pernah tercapai.
Pasalnya, mereka menganggap pemilu sebagai pertaruhan martabat, harga diri, dan segalanya. Sebaliknya, pemilu bukan lagi kontestasi natural lima tahunan yang mengedepankan kompetisi yang kompetitif.

Dengan latar kondisi tersebut, tak heran jika saat ini diskursus di ruang publik yang dipenuhi dengan ujaran kebencian dan narasi-narasi provokatif kian marak.

Situasi tersebut diperparah dengan ulah elite yang memperkeruh suasana. Padahal, semestinya mereka menjadi penuntun dan pemandu pemilih, bukan malah menjadi medium provokasi baru.

Hasilnya, di ujung jalan demokrasi dalam konteks Pemilihan Presiden (Pilpres), hanya beberapa orang saja yang menikmati lezatnya bagi-bagi kue kekuasaan, jabatan dan indahnya warna-warni uang APBN. Mereka yang berdiri di belakang, biarkan dan lupakan saja. Habis perkara.

News Feed