Beri Kuliah Pascasarjana Universitas Pertahanan, Bamsoet Dorong Sistem E-Voting dalam Pemilu Indonesia*

Nasional282 views

 

*JAKARTA* – Anggota DPR RI sekaligus Ketua MPR RI ke-15 dan dosen tetap Pascasarjana Universitas Pertahanan (Unhan), Universitas Borobudur dan Universitas Jayabaya Bambang Soesatyo menuturkan aksi anak-anak muda Nepal yang menggelar pemilihan perdana menteri Nepal Setelah Perdana Menteri Sharma Oli mundur menggunakan platform Discord, membuktikan bahwa teknologi digital bisa punya peran besar dalam proses demokrasi. Dari hasil voting tersebut, Sushila Karki yang sebelumnya menjabat sebagai ketua Mahkamah Agung Nepal terpilih sebagai perdana menteri. Fenomena tersebut bisa dijadikan momentum bagi Indonesia untuk mulai serius mempertimbangkan penerapan pemungutan suara elektronik atau e-voting dalam Pemilu secara bertahap. Dimulai dari wilayah perkotaan.

“Pemilu adalah instrumen kedaulatan rakyat. Kalau teknologi bisa membuatnya lebih cepat, akurat, transparan dan akuntabel, kenapa tidak kita pertimbangkan? Yang penting, jangan terburu-buru dan harus ada standar keamanan serta audit yang ketat agar kepercayaan publik tetap terjaga,” ujar Bamsoet saat memberikan kuliah Pascasarjana (S2) Fakultas Keamanan Nasional, Universitas Pertahanan, secara daring, di Jakarta, Selasa (10/9/25).

Ketua DPR RI ke-20 dan Ketua Komisi III DPR RI ke-7 ini menilai pelaksanaan e-voting bukanlah hal yang baru di Indonesia. Pada tahun 2019, Kabupaten Boyolali Jawa Tengah berhasil menggelar pemilihan kepala desa elektronik di 70 desa. Prosesnya relatif lancar, penghitungan suara berlangsung cepat, dan biaya logistik dapat ditekan. Satu tahun sebelumnya, Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur juga menerapkan sistem serupa di 15 desa. Sistem yang digunakan waktu itu dikembangkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bersama BUMN PT INTI. Hasilnya dinilai efisien, cepat, minim masalah, dan lebih hemat biaya.

E-voting menjawab masalah klasik pemilu di Indonesia, yakni undangan ganda, surat suara sisa yang rawan disalahgunakan, hingga Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang kerap bermasalah. Dengan sistem ini, suara dihitung secara otomatis, cepat, dan jejak auditnya jelas, baik dalam bentuk manual maupun digital. Lebih jauh lagi, perangkat e-voting dirancang aman karena tidak terkoneksi dengan jaringan internet saat proses pemungutan. Internet baru digunakan saat hasil dikirim, dan itu pun sesuai standar keamanan informasi elektronik.

Dasar hukumnya pun sudah ada. Mahkamah Konstitusi pada 2009 melalui putusan Nomor 147/PUU-VII/2009 menegaskan bahwa metode e-voting sah untuk digunakan dalam pemilihan kepala daerah. Hal ini juga diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang secara eksplisit membuka ruang penggunaan perangkat elektronik dalam proses pemungutan suara.

“Kalau di level pemilihan kepala desa kita sudah bisa melakukannya dengan sukses, kenapa tidak melangkah lebih jauh? Kita tidak boleh kalah cepat dengan perkembangan zaman. Apalagi teknologi bisa menutup celah kecurangan, biaya tinggi serta politik uang yang selama ini kerap merusak kualitas Pemilu kita,” kata Bamsoet.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini menjelaskan, pengalaman dari berbagai negara bisa menjadi bahan pertimbangan. India, misalnya, sejak tahun 1999 telah menggunakan mesin pemungutan suara elektronik (Electronic Voting Machine/EVM) dalam skala besar. Estonia bahkan menjadi pelopor pemilu online pertama di dunia pada tahun 2005, memungkinkan warganya memberikan suara dari mana pun melalui internet. Brasil sejak tahun 1996 juga menggunakan mesin e-voting dan kini menjadi salah satu negara dengan sistem Pemilu elektronik paling mapan.

“Kalau India dengan jumlah pemilihnya yang hampir satu miliar bisa melaksanakan, seharusnya kita juga bisa. Brasil, Filipina, sampai Estonia sudah membuktikan. Tinggal kita, mau atau tidak,” jelas Bamsoet.

Wakil Ketua Umum/Kepala Badan Bela Negara FKPPI dan Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menegaskan, kunci utama pelaksanaan Pemilu menggunakan e-voting terletak pada political will dari KPU, partai politik, dan pemerintah. Demokrasi Indonesia tidak boleh terus terjebak dalam pola lama yang rentan manipulasi. Justru dengan teknologi, partisipasi pemilih bisa diperluas. Terlebih, generasi muda Indonesia yang akrab dengan digital pasti lebih antusias jika pemilu berjalan modern.

“Lihat saja Nepal. Anak-anak mudanya bisa memilih pemimpin di Discord. Itu simbol kuat bahwa dunia bergerak ke arah pemanfaatan teknologi digital dalam pelaksanaan demokrasi. Kalau kita hanya menunggu, bisa-bisa malah tertinggal. Penerapan e-voting bisa dilakukan bertahap, Mulai dari Pilkades, lalu naik ke Pilkada, baru kita bicara Pileg dan Pilpres,” pungkas Bamsoet. (*)

News Feed