CINTA ANTARA ACEH DAN PADANG*

Tokoh9 views

 

Editor: TEUKU HUSAINI.

Di sebuah senja yang memerah di Pantai Purus, Padang, Aulia duduk memeluk lututnya. Ombak berlarian ke bibir pantai seperti menenangkan hati yang sedang kacau. Hari itu ia menerima pesan singkat dari seseorang yang telah berbulan-bulan menghilang: Razi, pemuda Aceh yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya.

Pertemuan mereka terjadi dua tahun lalu. Saat itu Razi datang ke Padang untuk mengikuti pelatihan kebencanaan. Aulia—siswi kelas XI—ditugaskan menjadi relawan penyambut peserta. Dari cara Razi tersenyum, tatapan matanya yang lembut, dan tutur katanya yang santun, Aulia merasakan sesuatu yang berbeda. Sementara Razi yang biasanya pendiam justru mudah berbicara saat bersama Aulia. Mereka cepat akrab, saling berbagi cerita tentang kampung halaman: Padang dengan pantainya yang hangat, Aceh dengan tradisi dan syair-syairnya yang menenangkan.

Namun kedekatan itu hanya sebentar. Pelatihan berlangsung dua minggu. Di hari terakhir, Aulia mengantar Razi ke bus yang akan membawanya kembali ke Aceh. Di bawah rintik hujan, Razi berbisik, “Saya akan kembali, Aulia. Kalau bukan ke Padang, setidaknya ke hati kamu.” Aulia hanya tersenyum malu, tak yakin apakah itu serius atau sekadar gurauan perpisahan.

Sejak itu mereka hanya berkomunikasi lewat pesan. Hubungan jarak jauh yang belum jelas statusnya, namun sangat membuat keduanya saling terikat. Sampai suatu hari, gempa besar mengguncang sebagian Aceh. Komunikasi mendadak terputus. Pesan Aulia tidak pernah dibalas lagi. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Aulia mencoba tegar, tapi hatinya hancur. Ia takut Razi menjadi korban bencana. Bahkan jika selamat pun, apakah ia masih mengingatnya?

Lalu, tepat di senja yang muram itu, sebuah pesan muncul:
Aulia, maaf. Banyak hal terjadi. Saya ingin bertemu. Saya ke Padang lusa. Boleh? – Razi.

Aulia menatap ponsel itu lama sekali. Jantungnya berdebar: marah, rindu, dan takut berharap menjadi satu. Namun pada akhirnya ia membalas singkat:
Datanglah.

Hari pertemuan tiba. Hujan kembali turun seperti mengulang kisah lalu. Aulia duduk di sebuah kafe kecil dekat Pantai Padang. Tangannya gemetar memegang gelas coklat panas. Pintu kafe terbuka, seorang pemuda masuk dengan jaket basah. Razi.

Ia berdiri di depannya dengan tatapan penuh rasa bersalah. “Aulia…”

Aulia menahan air mata. “Kenapa kamu hilang tanpa kabar? Kamu tahu saya takut setengah mati?”

Razi menarik kursi pelan. “Waktu gempa itu, rumah kami hancur. Saya kehilangan ponsel… dan beberapa anggota keluarga. Saya ikut relawan berbulan-bulan, berpindah-pindah. Saya tidak punya cara menghubungi siapa pun. Baru setelah keadaan stabil saya bisa menghubungi kamu. Maafkan saya.”

Aulia menunduk. Hatinya teriris mendengar kenyataan itu. “Kenapa kamu baru datang sekarang?”

Razi menatap matanya dalam. “Karena selama masa sulit itu, saya sadar satu hal. Harapan yang membuat saya terus bertahan adalah kamu. Kata-kata kamu dulu selalu teringat. Aulia, saya datang bukan untuk mengulang masa lalu. Saya datang untuk memperbaiki semuanya.”

Ia mengambil napas panjang. “Saya ingin hubungan yang jelas. Saya ingin masa depan kita. Jarak Aceh dan Padang memang jauh, tapi hati tidak pernah punya batas.”

Aulia menggigit bibir, menahan emosi. “Kalau kamu datang hanya untuk janji yang tidak pasti… saya tidak sanggup lagi, Razi.”

Razi tersenyum tipis, penuh ketulusan. “Tidak ada janji kosong. Saya di sini. Saya memilih kamu.”

Aulia terdiam. Butir air mata jatuh perlahan. Seluruh kerinduan yang ia pendam selama berbulan-bulan seakan pecah di hadapan pemuda itu. Ia menghela napas, lalu berkata pelan, “Baik… tapi satu syarat.”

“Apa pun,” jawab Razi.

“Jangan menghilang lagi.”

Razi mengangguk mantap. “Kalau hilang, saya pasti pulang ke kamu.”

Mereka berdua tertawa kecil, walau mata Aulia masih basah.

Hujan mereda. Langit perlahan cerah. Mereka keluar dari kafe berjalan berdampingan ke arah pantai. Ombak yang tadi bergelora kini lebih tenang, seakan ikut merestui pertemuan itu.

Aulia memandang Razi dengan senyum tipis. “Jadi… kita mulai dari awal?”

Razi menatapnya, lembut. “Awal yang baru. Antara Aceh dan Padang. Antara kamu dan saya.”

Aulia tersenyum lebih lebar. Hatanya yang dulu patah kini terasa penuh lagi. Cinta yang sempat terputus itu akhirnya menemukan jalan pulang.

Dan di bawah langit yang kembali biru, dua hati dari dua daerah yang jauh akhirnya menyatu—pelan, sederhana, namun sangat membahagiakan.(sinyalgones.com)

News Feed