Jakarta — Sejarah lahirnya massa Pro Megawati Soekarnoputri tidak dapat dilepaskan dari konflik politik terbuka yang terjadi pada pertengahan 1990-an. Bagi sebagian besar pendukungnya, kesetiaan politik itu tidak lahir dari kemenangan elektoral, melainkan dari pengalaman perampasan hak politik, represi negara, dan rasa ketidakadilan yang terakumulasi sejak Peristiwa 27 Juli 1996 atau Kudatuli.
Peristiwa penyerbuan Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta, menjadi titik balik penting. Konflik internal partai yang berpuncak pada Kongres Medan 1996—yang menggantikan kepemimpinan Megawati Soekarnoputri dengan dukungan kekuasaan negara—melahirkan basis massa yang bersifat organik dan ideologis. Mereka berasal dari berbagai lapisan masyarakat: buruh, aktivis, seniman, mahasiswa, hingga warga kampung, yang melihat Megawati sebagai simbol perlawanan terhadap otoritarianisme.
Menurut pengamat dan pelaku sejarah internal PDI Perjuangan, Antonius Fokki Ardiyanto, kelompok inilah yang kemudian dikenal sebagai massa Pro Mega generasi pertama. “Mereka adalah pelaku langsung sejarah. Loyalitas mereka lahir dari risiko, bukan dari kenyamanan politik,” tulis Antonius dalam analisisnya.
Konsolidasi Pasca-Reformasi
Setelah tumbangnya Orde Baru pada 1998 dan berdirinya PDI Perjuangan, massa Pro Mega tidak melebur begitu saja ke dalam struktur formal partai. Sebaliknya, mereka menjadi tulang punggung konsolidasi akar rumput. Kemenangan PDI Perjuangan pada Pemilu 1999, menurut banyak catatan, lebih merupakan akumulasi memori kolektif atas ketidakadilan dan perlawanan dibandingkan hasil kerja mesin politik modern.
Dalam fase inilah muncul generasi kedua massa Pro Mega. Mereka adalah aktivis muda akhir 1990-an hingga awal 2000-an, sebagian mengalami langsung Kudatuli dan Mei 1998, sebagian lainnya tumbuh dari narasi dan luka sejarah tersebut. Generasi ini mengisi kerja-kerja lapangan: pengorganisasian basis, penjagaan suara, kerja relawan, hingga kaderisasi informal yang tidak tercatat dalam laporan resmi partai.
“Mereka mewarisi api perjuangan, tetapi tidak mewarisi posisi aman,” tulis Antonius. Berbeda dengan generasi pertama yang telah menjadi simbol sejarah, generasi kedua tetap aktif dan memiliki jaringan sosial yang luas di tingkat akar rumput.
Perubahan Orientasi Politik
Seiring semakin mapannya kekuasaan dan meningkatnya biaya politik, orientasi partai dinilai mengalami pergeseran. Logika ideologis perlahan digantikan oleh logika pengelolaan dan elektabilitas. Modal ekonomi dan jaringan elite semakin menentukan arah kebijakan dan rekrutmen politik.
Dalam konteks ini, posisi massa Pro Mega—khususnya generasi kedua—mengalami perubahan signifikan. Dari aset politik, mereka perlahan dipersepsikan sebagai risiko. Generasi pertama tetap dihormati sebagai monumen sejarah, sementara generasi kedua dinilai masih terlalu aktif, kritis, dan memiliki daya pengaruh yang sulit dikendalikan.
Proses marginalisasi, menurut Antonius, tidak dilakukan secara terbuka. Tidak ada konflik frontal atau pembersihan struktural. Yang terjadi justru mekanisme administratif yang rapi: keterlibatan tetap diminta, tetapi akses pengambilan keputusan dipersempit; loyalitas dipuji, tetapi distribusi kekuasaan tertutup.
“Struktur masih ada, tetapi fungsinya dikosongkan. Kaderisasi menyempit, kerja ideologis dianggap tidak efisien, dan militansi dipandang naif,” tulisnya.
Penghabisan yang Sunyi
Fenomena ini digambarkan sebagai bentuk penghabisan politik yang baru: bukan melalui represi, melainkan pengabaian sistematis. Generasi kedua tidak diusir, tetapi dibuat lelah. Tidak dimusuhi, tetapi dibuat tidak relevan.
Ironisnya, kelompok ini justru menjadi yang paling lama bertahan karena rasa memiliki dan keyakinan ideologis terhadap partai. Namun, sejarah politik kerap mencatat bahwa generasi perantara—yang berada di antara simbol sejarah dan pragmatisme kekuasaan—sering menjadi pihak yang paling rentan terpinggirkan.
Antonius mengingatkan, setiap kekuatan politik yang memutus dirinya dari akar ideologis yang melahirkannya berisiko menghadapi krisis legitimasi di masa depan. “Ia mungkin tampak kokoh sesaat, tetapi sesungguhnya berdiri di atas tanah yang mulai retak,” tulisnya.
Ketika generasi yang dilupakan berhenti berharap, sejarah, menurutnya, kerap bergerak ke arah yang tidak lagi mudah dikendalikan.
repoter : nita








