Hadiri Dialog Kebangsaan HUT FKPPI ke-47, Bamsoet Ajak Perkuat Persatuan Bangsa dan Ingatkan Aksi Kerusuhan Kemarin Sebagai Pelajaran Berharga*

Nasional19 views

 

*JAKARTA* – Anggota DPR RI sekaligus Ketua MPR RI ke-15 dan Wakil Ketua Umum/Kepala Badan Bela Negara FKPPI (Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI-Polri) Bambang Soesatyo menegaskan bahwa aksi unjuk rasa yang pecah pada akhir Agustus lalu dan berujung pada pengrusakan serta penjarahan, harus menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia. Menurutnya, kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi tidak boleh dicederai dengan tindak anarkis yang justru merugikan masyarakat luas.

“Demokrasi memberikan ruang bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi. Namun bukan berarti memberikan pembenaran untuk mencederai ketertiban sosial. Kebebasan tanpa tanggung jawab hanya akan melahirkan kekacauan. Demikian juga kepada pejabat negara, agar bisa menahan diri untuk tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan kontroversi,” ujar Bamsoet saat menghadiri Diskusi Kebangsaan HUT FKPPI ke-47 di Jakarta, Jumat (12/9/25).

Hadir antara lain Ketum FKPPI Pontjo Sutowo, Waketum FKPPI Indra Bambang Utoyo, Laksda TNI (Purn) Robert Mangindaan, Mayjen TNI (Purn) I Dewa Putu Rai serta mantan Gubernur Lemhanas Andi Widjajanto.

Ketua DPR RI ke-20 dan Ketua Komisi III DPR RI ke-7 ini memaparkan, aksi unjuk rasa akhir Agustus lalu membuka tiga pelajaran penting. Pertama, pemerintah harus memperkuat komunikasi publik agar ketidakpuasan tidak meluap di jalanan dengan cara destruktif. Kedua, aparat keamanan perlu menjaga keseimbangan antara ketegasan hukum dan pendekatan humanis, sehingga unjuk rasa tetap dalam koridor damai. Ketiga, Kita semua mesti lebih dewasa dalam menyalurkan aspirasi, karena kekerasan hanya akan merugikan rakyat Kita sendiri.

“Kita harus belajar bahwa unjuk rasa bukanlah akhir dari dialog, melainkan bagian dari proses demokrasi. Namun jika jalannya salah, demokrasi bisa berubah menjadi anarki. Karena itu, semua pihak, baik pemerintah, aparat, DPR maupun masyarakat, harus mengedepankan musyawarah, mendengar, dan mencari solusi bersama,” kata Bamsoet.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini mengingatkan, di tengah pusaran perubahan global yang kian dinamis, bangsa Indonesia kini diuji dengan ancaman yang jauh lebih kompleks. Mulai dari konflik geopolitik, krisis iklim, disrupsi teknologi, hingga perang siber dan disinformasi yang merambah ruang digital masyarakat.

Laporan Global Risks Report 2025 yang dirilis Forum Ekonomi Dunia menempatkan konflik geopolitik, disrupsi teknologi, dan krisis iklim sebagai tiga ancaman teratas dalam beberapa tahun mendatang. Dampaknya sudah dirasakan masyarakat Indonesia dalam bentuk harga pangan yang naik akibat gangguan rantai pasok global, ketidakpastian energi, serangan siber, hingga potensi migrasi iklim di kawasan Asia Tenggara.

“Ancaman global adalah kenyataan yang memaksa kita harus berbenah. Persatuan tidak boleh hanya menjadi simbol, melainkan harus diwujudkan dalam kesiapan menghadapi segala bentuk ancaman global. Kita harus membentengi kebhinekaan dengan kemampuan, merawat persatuan dengan kebijakan yang berwibawa serta menjaga kedaulatan informasi dengan literasi yang luas,” urai Bamsoet.

Wakil Ketua Pemuda Pancasila dan Ketua Umum Ikatan Motor Indonesia ini memaparkan, ancaman siber saat ini menjadi hal yang sangat serius. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat, hanya dalam enam bulan pertama tahun 2025, lebih dari 1,7 miliar serangan siber terdeteksi terhadap infrastruktur digital nasional. Angka itu bukan sekadar statistik. Serangan bisa melumpuhkan pusat data, mengacaukan layanan publik, bahkan mengganggu sistem transportasi dan kesehatan.

Tahun 2024 lalu, pusat data nasional sempat lumpuh akibat serangan ransomware, menyebabkan ratusan layanan publik terganggu. Dari sistem imigrasi di bandara hingga layanan administrasi kesehatan, semuanya terdampak. Krisis itu memaksa pemerintah melakukan audit besar-besaran terhadap sistem keamanan data negara.

“Ancaman lain datang dari perang informasi. Disinformasi dan hoaks terus beredar, terutama di masa-masa krusial seperti Pemilu atau saat pemerintah mengeluarkan kebijakan strategis. Narasi palsu yang terorganisir mampu memecah belah masyarakat, menguatkan polarisasi, dan menggerakkan massa secara cepat. Kalau tidak ditangani dengan serius, polarisasi yang lahir dari disinformasi bisa menggerogoti fondasi persatuan bangsa,” pungkas Bamsoet. (*)

News Feed