HAIDAR ALWI DAN GAGASANNYA DALAM MEREFORMASI PERTAMBANGAN.

Nasional42 views

 

Oleh: Saiful Huda Ems.

Indonesia ini ibarat orang kaya yang hidupnya miskin. Negeri dengan perut bumi penuh emas, nikel, batu bara, timah, bauksit, minyak, gas, hingga logam tanah jarang, tapi rakyatnya masih banyak yang makan nasi aking, berdesakan antre beras murah, bahkan menjual tanah warisan demi bayar biaya sekolah anak-anaknya.

Pertanyaan besarnya: ke mana larinya hasil kekayaan alam itu? Apakah Pasal 33 UUD 1945 yang dengan tegas menyebut “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, kini hanya jadi teks mati yang digantung di dinding ruang rapat DPR dan kementerian?

Pasal 33 Dikhianati, Rakyat Hanya Jadi Penonton.

Mari kita jujur. Pasal 33 UUD 1945 sudah lama dikubur hidup-hidup. Faktanya, emas di NTB, nikel di Sulawesi, batu bara di Kalimantan, timah di Bangka Belitung, bauksit di Kalbar, migas di Natuna, hingga rare earth elements di Sulawesi dan Bangka, semua lebih banyak dikuasai asing dan segelintir oligarki. Rakyat hanya jadi buruh di tanahnya sendiri.

Lihat bagaimana tambang emas di Sumbawa dan Dompu, NTB. Cadangan emasnya segunung, nilainya bisa mencapai Rp.1.200 triliun menurut hitungan konservatif, tapi masyarakat sekitar tetap miskin. Mereka tetap jadi kuli tambang, tetap kesulitan akses air bersih, tetap hidup sederhana. Emas keluar negeri, debunya untuk rakyat.

Data terbaru Kementerian ESDM (Mei 2025) mencatat:

1. Produksi nikel Indonesia mencapai 1,8 juta ton pada 2024, terbesar di dunia, namun indeks kemiskinan Sulawesi Tenggara masih di atas 11%, lebih tinggi dari rata-rata nasional.

2. Cadangan emas Indonesia diperkirakan 2.600 ton, terbesar ke-7 dunia, namun masyarakat lingkar tambang di NTB tetap hidup dengan rata-rata penghasilan di bawah Rp. 2 juta per bulan.

3. PT Timah, BUMN yang menguasai cadangan timah dunia hingga 27%, malah rugi Rp. 450 miliar pada 2023, sementara ekspor ilegal timah oleh kartel dan oknum pejabat diperkirakan mencapai Rp. 2,8 triliun per tahun.

Di sisi lain, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia justru lebih sibuk mengutak-atik izin tambang dan mengundang investor asing. Sejak ia dilantik pada Agustus 2024, kebijakan tambang lebih mirip karpet merah untuk korporasi besar, sementara tambang rakyat dipinggirkan. RKAB tambang diperpanjang untuk konglomerat, tapi ribuan izin tambang rakyat malah macet di meja birokrasi.

Menteri BUMN Erick Thohir pun tak kalah bermasalah. BUMN tambang besar seperti Antam, Timah, Bukit Asam, dan Inalum dikelola seolah kerajaan bisnis pribadi. Rakyat tidak merasakan sebutir pun hasil emasnya.

Data 2023–2024 malah menunjukkan: laba Antam turun 19,45%, Bukit Asam anjlok 96%, dan Inalum lebih sibuk membayar hutang dibanding membangun desa tambang. BUMN yang seharusnya menjadi benteng Pasal 33 justru jadi sapi perah elite politik.

Haidar Alwi dan Jalan Koperasi Tambang.

Di tengah ironi ini, ada suara lantang yang berbeda: Haidar Alwi. Beliau bukan menteri, bukan konglomerat, bukan politisi partai. Beliau seorang cendekiawan, pengusaha, sekaligus pejuang sosial yang konsisten bicara soal koperasi tambang rakyat sebagai jalan emas untuk menebus dosa Pasal 33 UUD 1945 yang telah lama dikhianati.

Konsepnya sederhana tapi revolusioner: tambang dikelola lewat koperasi rakyat, bukan semata BUMN atau korporasi asing. Rakyat jadi pemilik, bukan hanya buruh. Desa dapat dana pembangunan, anggota koperasi dapat dividen, negara tetap dapat pajak. Inilah demokrasi ekonomi sejati, inilah roh asli Pasal 33 UUD 1945.

Haidar Alwi selalu menekankan:

“Jika emas NTB, nikel Sulawesi, atau timah Bangka dikelola dengan koperasi rakyat, maka ibu-ibu di pasar akan merasakan sinarnya. Tidak lagi hanya investor asing yang berkalung emas, sementara rakyatnya lapar.”

Bahkan haidar Alwi pernah berbicara dan mengusulkan:

– Zona Afirmasi Ekonomi Rakyat → wilayah khusus untuk tambang rakyat.
– Bank Komoditas Daerah → menampung hasil tambang dengan harga wajar.
– Satgas Lintas Sektor → mempercepat legalisasi dan pembinaan tambang rakyat.

Model koperasi tambang ini sejatinya punya preseden global. Bolivia di bawah Evo Morales sukses menaikkan pendapatan negara dengan skema koperasi litium. Venezuela mengendalikan minyak lewat komunitas pekerja.

Afrika Selatan bahkan menyiapkan program kepemilikan rakyat dalam tambang platinum. Artinya, apa yang digagas Haidar Alwi bukan mimpi kosong, tapi strategi yang bisa dijalankan Indonesia jika ada kemauan politik.

Menteri-Menteri Sibuk Pencitraan, Haidar Alwi Sibuk Bicara Rakyat.

Ironinya, pejabat negara justru sibuk berfoto di depan smelter, sibuk pencitraan di televisi, sibuk pamer divestasi Freeport. Tapi di kampung-kampung sekitar tambang, rakyat tetap miskin.

Apa gunanya divestasi saham Freeport naik jadi 61% jika rakyat Papua tetap jadi penonton? Apa gunanya Antam bangga ekspor nikel jika rakyat Sulawesi masih kesulitan listrik dan jalan desa?

Menteri BUMN Erick Thohir memang lihai dalam citra, tapi rakyat butuh kenyataan, bukan poster iklan. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia pun sama saja: sibuk membanggakan kontrak asing, tapi tambang rakyat tetap ilegal dan dipersekusi.

Bandingkan dengan Haidar Alwi: tanpa jabatan, tanpa APBN, ia sudah membangun gerakan Rakyat Bantu Rakyat yang memberi makan anak yatim, menolong ODGJ, memberi modal usaha kecil, dan kini menawarkan koperasi tambang sebagai solusi struktural.

Pertanyaannya: kenapa sosok seperti Haidar Alwi tidak pernah diberdayakan negara? Apakah karena beliau terlalu bersih? Terlalu berpihak pada rakyat? Atau karena tidak bisa dikendalikan oleh kepentingan elite?

Pak Presiden Prabowo Subianto saat ini punya momentum. Jika bapak berani mengadopsi gagasan koperasi tambang rakyat ala Haidar Alwi, sejarah akan mencatat Pak Prabowo Subianto sebagai pemimpin yang menegakkan kembali Pasal 33.

Tetapi jika Bapak Prabowo tetap tunduk pada pola lama, mengutamakan investor asing dan oligarki, maka Pak Presiden Prabowo Subianto hanya melanjutkan dosa-dosa ekonomi Orde Baru tanpa bapak sadari.

Menebus Dosa Pasal 33.

Jika negara terus membiarkan emas, nikel, batu bara, dan kekayaan alam lain hanya jadi bancakan oligarki dan korporasi asing, maka rakyat akan semakin kehilangan kepercayaan.

Dan ingatlah Pak, amarah rakyat itu seperti api dalam sekam. Kasus demo Pati hanyalah alarm kecil. Jika suara rakyat terus diabaikan, Jakarta bisa meledak jadi Pati kedua.

Olehnya mohon hal ini diperhatikan oleh Bapak Presiden Prabowo yang telah lama kami tunggu-tunggu ketegasan dan keberpihakannya pada rakyat.

Menteri-menteri yang tidak becus bekerja dan gemar merusak lingkungan serta hanya tertarik untuk memperkaya dirinya sendiri, mohon segera diganti Pak.

Haidar Alwi dengan gagasan koperasi tambangnya adalah penebus dosa Pasal 33 UUD 1945. Beliau mengingatkan bangsa ini bahwa kekayaan alam bukan milik segelintir orang, tapi milik seluruh rakyat Indonesia. Beliau menegaskan bahwa ekonomi kerakyatan bukan sekadar slogan, tapi jalan nyata menuju keadilan.

Jangan biarkan rakyat hanya dapat debu tambang. Biarkan mereka merasakan sinarnya. Dan percayalah, suara Haidar Alwi hari ini adalah suara hati nurani rakyat Indonesia.

Ayo para menteri-menteri yang berkepentingan dalam hal ini, bekerjalah yang sungguh-sungguh dan jangan pernah mengotori Kabinet Merah Putih !

Jika kalian tidak bisa menjaga nama baik Pemerintahan Prabowo Subianto, tidak bisa pula menjaga kekayaan alam Indonesia yang diperuntukkan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia, lebih baik segera mundur dan diganti dengan orang-orang yang siap bekerja dan mengabdi pada bangsa dan negara seperti Haidar Alwi !.

Sapere aude ! Beranilah berpikir !…(SHE).

22 Agustus 2025.

Saiful Huda Ems (SHE). Lawyer, Jurnalis, Analis Politik dan Aktivis ’98.

News Feed