Haidar Alwi: Di Balik Fitnah Nasab, Membaca Pola Sistematis Kesesatan Informasi Imaduddin.*

Nasional141 views

 

Sejarah umat Islam penuh dengan contoh tentang bagaimana kehormatan dapat roboh bukan karena serangan musuh, tetapi karena fitnah yang tumbuh dari tangan orang yang menganggap dirinya pejuang kebenaran. Pada masa lalu, fitnah disebarkan dari mulut ke mulut; kini ia bergerak jauh lebih cepat, mengalir lewat layar, masuk ke pikiran sebelum nalar sempat berfungsi. Ketika kabar palsu mengatasnamakan ulama besar, ketika sanad diputuskan lewat unggahan anonim, dan ketika kehormatan keluarga dicampakkan demi kepuasan sesaat, maka kita menyaksikan gejala keruntuhan moral yang lebih dalam dari sekadar perbedaan pendapat. Di tengah pusaran ini, satu nama muncul dengan pola yang konsisten dan tidak bisa diabaikan: Imaduddin. Sebutannya harus jelas, analisa harus terang. Bukan untuk menjatuhkan seseorang, tetapi untuk meninggalkan preseden bagi umat: bahwa kebenaran tidak boleh tunduk kepada mereka yang memelihara kebohongan dengan cara sistematis.

Dalam pandangan Ir. R. Haidar Alwi, MT, Pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute serta Dewan Pembina Ikatan Alumni ITB, melihat isu ini sebagai fenomena moral. *“Ketika orang meminjam nama ulama untuk menyebarkan kebohongan, yang hancur bukan hanya reputasi keluarga, tetapi fondasi akal sehat umat,”* tegas Haidar Alwi.

Bagi beliau, fitnah nasab Ba‘Alawi yang disebarkan melalui kanal-kanal digital bukan lahir dari ketidaktahuan semata, tetapi dari keberanian melanggar adab ilmu. Dan selama masyarakat tidak memahami pola tersebut, fitnah akan terus beranak pinak, merusak dari generasi ke generasi.

*Ketika Marwah Nasab Menjadi Korban Hoaks.*

Nasab bukan sekadar garis keturunan; ia adalah marwah. Ia adalah kehormatan yang dijaga oleh ulama, keluarga, dan sejarah. Ketika seseorang menuduh nasab orang lain palsu, ia sedang menggugat kehormatan sebuah kabilah, memecah kepercayaan antar keluarga, dan menebar bara yang dapat menyulut permusuhan sosial. Di banyak daerah, tuduhan semacam ini bisa melahirkan konflik berkepanjangan. Karena itu, dalam tradisi keilmuan Islam, nasab tidak boleh dinilai berdasarkan prasangka, apalagi berdasarkan unggahan tidak jelas sumbernya.

Namun apa yang terjadi? *Fitnah nasab Ba‘Alawi menyebar cepat karena ada yang memberikan panggung. Klaim bahwa “Mufti Yaman membatalkan puluhan kabilah” tiba-tiba menjadi pembicaraan publik, padahal tidak pernah ada dokumen resmi, tidak ada maklumat institusi, dan tidak ada rekaman verifikasi. Tetapi karena narasi itu diperkuat oleh Imaduddin, publik menerimanya seolah-olah itu fakta yang tak terbantahkan. Inilah awal dari kerusakan: fitnah bukan tumbuh dari kebodohan, tetapi dari kepercayaan yang salah ditempatkan.*

*Kebenaran Bukan Milik Orang yang Berani Berbicara, Tetapi Milik Mereka yang Berani Memeriksa.*

Haidar Alwi menyadarkan kita bahwa umat Islam memiliki tradisi emas dalam memeriksa kebenaran. Kita diajari sanad, tabyin, verifikasi, dan kehati-hatian dalam setiap kalimat. Namun tradisi itu terkikis ketika emosi lebih cepat bergerak daripada akal. *“Masalah kita bukan kurangnya informasi, Masalah kita adalah hilangnya disiplin untuk memeriksa informasi.”*

*Akar Fitnah Nasab dan Bahaya Disinformasi yang Dipelihara.*

Disinformasi agama memiliki daya rusak yang jauh lebih besar daripada hoaks politik atau ekonomi. Ia menyentuh keyakinan, kehormatan, dan identitas. *Dalam kasus Ba‘Alawi, fitnah tumbuh melalui tiga jalur mematikan.*

*Pertama,* minimnya pemahaman publik tentang otoritas ulama Yaman. Mayoritas masyarakat tidak mengetahui bahwa Kemuftian Yaman telah menegaskan sejak 2019-2020 bahwa mereka tidak memiliki akun media sosial. Artinya, setiap kabar yang bersumber dari akun yang mengatasnamakan Mufti adalah palsu.

*Kedua,* emosi publik terhadap isu nasab membuat logika tertinggal. Ia menyentuh kebanggaan, sehingga masyarakat bereaksi cepat tanpa verifikasi.

*Ketiga,* adanya sosok seperti Imaduddin yang secara aktif memperkuat hoaks tersebut. Imaduddin tidak sekadar mempublikasikan klaim palsu, tetapi memberikan sentuhan retorika seolah-olah kabar itu berasal dari sumber otoritatif. Di sinilah fitnah mendapatkan sayap.

Jika hanya ada kabar palsu tanpa amplifikasi, fitnah akan cepat mati. Tetapi ketika ada sosok seperti Imaduddin yang memelihara narasi itu, fitnah bertahan bahkan setelah dibantah oleh sumber resmi.

*Kronologi yang Tidak Bisa Dipungkiri: Bagaimana Hoax Itu Diproduksi dan Diulang.*

Jika kita susun sebagai narasi, fitnah ini mengikuti pola yang rapi rapi karena dilakukan dengan sadar. Pada 2022, muncul artikel anonim yang mengklaim pembatalan puluhan kabilah. Tidak ada sumber, tetapi ada sensasi. Klaim inilah yang menjadi bekal awal bagi para penyebar hoaks. Lalu tiba momen penting: 15 Maret 2024, ketika Imaduddin mempublikasikan ulang klaim itu melalui RM Young Banten, lengkap dengan penjelasan seolah-olah itu keputusan institusional.

Publik terseret, sebagian karena percaya pada retorika Imaduddin, sebagian karena tidak memiliki akses langsung ke ulama Yaman. Tetapi hanya berselang dua minggu, pada 31 Maret 2024, klarifikasi dari Muhammad Zagafal Qaf menegaskan bahwa fatwa itu tidak pernah ada. Pada 16 Mei 2024, video resmi putra Mufti Yaman menutup ruang sangkalan: Mufti tidak pernah memiliki akun media sosial, tidak pernah mengeluarkan fatwa pembatalan nasab, dan tidak pernah mengetahui tulisan-tulisan yang beredar. Pada 5 Juli 2024, Mufti sendiri mengulanginya dalam khutbah.

*Pada titik ini,* seseorang yang mencari kebenaran seharusnya berhenti. Tetapi Imaduddin tidak berhenti. Ia mengulang narasi itu lagi pada 20 Mei dan 27 Mei 2024, bahkan setelah bantahan resmi beredar luas. Dan ketika publik menuntut penjelasan setahun kemudian, ia menyebut semuanya “candaan”.

Di sinilah kita melihat bukan kelalaian, tetapi pola:
menyebarkan hoaks, menolak klarifikasi, dan berlindung di balik humor.

*Pola Sistematis Kesesatan Informasi Imaduddin.*

Jika tindakan Imaduddin dibaca potongan demi potongan, gambar besar akan muncul dengan sendirinya. Ini bukan rangkaian kesalahan acak. Ini pola yang terstruktur:

1. Mengambil konten dari akun palsu yang mengatasnamakan ulama.
2. Memberikan legitimasi palsu dengan retorika akademis.
3. Mempublikasikan melalui kanal formal agar terlihat resmi.
4. Mengulang meskipun bantahan resmi muncul.
5. Menghindari tanggung jawab dengan menyebutnya candaan.

*Inilah pola yang membuat hoaks bertahan hidup.* Bukan karena kuatnya kebohongan, tetapi karena konsistennya penyebar. Dalam tradisi ilmu, ini bukan kesalahan kecil; ini pelanggaran etika akademik. Dalam tradisi moral, ini bukan kekhilafan; ini keberanian mengabaikan kebenaran. Dan dalam tradisi umat, ini bukan kelemahan; ini ancaman.

*Psikologi Imaduddin: Antara Ego, Sensasi, dan Pengabaian Adab Ilmu.*

Untuk memahami mengapa Imaduddin terus memelihara hoaks itu, kita harus membaca sisi psikologisnya. Ada pola superioritas semu dalam gaya komunikasinya: seolah-olah ia memiliki akses eksklusif ke ulama besar. Pola semacam ini sering muncul pada figur yang ingin membangun pengaruh tanpa fondasi ilmiah. Ketika narasinya menuai kontroversi, ia mendapatkan validasi, dan validasi itu menjadi bahan bakar untuk mengulang narasi tersebut.

Ketika terbukti salah, ia tidak menunjukkan kerendahan hati untuk tabyin. Ia memilih humor, mekanisme pertahanan yang sering dipakai untuk menghindari tanggung jawab. Tetapi humor tidak menghapus fitnah. Humor tidak mengobati luka. Humor hanya menyembunyikan niat. Dan ketika humor dipakai untuk menutup-nutupi kebohongan, ia berubah dari sekadar candaan menjadi keculasan.

Pola psikologis inilah yang menegaskan bahwa tindakan Imaduddin tidak lahir dari ketidaktahuan, tetapi dari pilihan sadar untuk mempertahankan narasi yang menguntungkannya.

*Jalan Pencerahan: Seruan Haidar Alwi tentang Ilmu, Akhlak, dan Keberanian Moral.*

Apa yang harus dilakukan umat? Haidar Alwi mngingatkan agar kita kembali kepada ilmu, kembali kepada akhlak, kembali kepada keberanian moral. *“Bangsa ini tidak akan hancur karena perbedaan, bangsa ini hancur jika kita membiarkan kebohongan menguasai ruang kebenaran.”* ujar Haidar Alwi.

Karena itu, umat harus memulihkan disiplin literasi: memeriksa sumber, mengecek dokumen, dan menahan diri dari menyebarkan kabar yang belum jelas.

Adab ilmu harus dihidupkan kembali: tabyin, verificatio, kehati-hatian dalam berbicara nama ulama. Fitnah dapat berhenti jika umat bersepakat untuk tidak menjadikan media sosial sebagai tempat penghakiman nasab. Dan yang paling penting, umat harus belajar dari kasus ini: bahwa menyampaikan nama bukanlah penghinaan, tetapi bagian dari edukasi publik agar pola penyimpangan tidak terulang.

Pada akhirnya, kasus Imaduddin bukan lahir karena ia berbicara; tetapi karena ia menolak berhenti bahkan setelah kebenaran berdiri tegak. *“Kebenaran tidak lahir dari akun palsu. Ia lahir dari keberanian kita untuk meluruskannya,”* pungkas Haidar Alwi.

News Feed