Tidak semua pahlawan dikenal lewat kisah yang manis. Sebagian datang dari jalan penuh kontroversi, sebagian lagi dari kesunyian perjuangan yang tak pernah tercatat di buku sejarah. Ada yang berjasa tanpa penghargaan, dan ada yang dihujat sebelum dihormati. Namun, waktu selalu tahu cara menempatkan seseorang di tempat yang semestinya. Pahlawan sejati tidak butuh pembelaan, karena sejarah pada akhirnya berpihak kepada kejujuran dan pengabdian.
Dalam pandangan R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, sekaligus Dewan Pembina Ikatan Alumni ITB, keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada sepuluh tokoh bangsa adalah langkah berani dan visioner. Bukan sekadar penghargaan simbolik, melainkan upaya menyatukan narasi sejarah bangsa yang selama ini terpecah oleh persepsi dan luka politik.
*“Pemerintah yang berani menghormati sejarah secara utuh adalah pemerintah yang berani berdamai dengan bangsanya sendiri,”* tegas Haidar Alwi.
*Ketika Bangsa Belajar Berdamai dengan Sejarah.*
Upacara penganugerahan gelar pahlawan nasional pada 10 November 2025 di Istana Negara menjadi titik balik moral bangsa. Sepuluh tokoh yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 116/TK/Tahun 2025 adalah: Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Soeharto, Marsinah, Mochtar Kusumaatmadja, Hajjah Rahmah El Yunusiyyah, Sarwo Edhie Wibowo, Sultan Muhammad Salahuddin, Syaikhona Muhammad Kholil, Tuan Rondahaim Saragih, dan Zainal Abidin Syah.
Sepuluh nama ini bukan hanya daftar, tetapi mosaik sejarah bangsa: dari ulama hingga buruh, dari sultan hingga jenderal, dari presiden hingga rakyat biasa. Menurut Haidar Alwi, komposisi ini mencerminkan niat tulus pemerintahan Prabowo untuk menyeimbangkan pandangan sejarah Indonesia, bukan sejarah yang menyingkirkan, melainkan sejarah yang memeluk.
*“Bangsa besar bukan yang menutupi masa lalunya, tapi yang berani menghadapinya dengan kebijaksanaan,”* ujar Haidar Alwi.
Keputusan ini juga memiliki dasar hukum yang kuat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, penganugerahan pahlawan nasional dilakukan kepada mereka yang memenuhi enam syarat umum dan tujuh syarat khusus, mulai dari integritas moral, jasa terhadap bangsa, hingga pengabdian sepanjang hayat.
Semua syarat itu, tegas Haidar Alwi, terpenuhi oleh mereka yang kini diberi tempat terhormat di hati bangsa.
*Dari Soeharto hingga Marsinah: Pahlawan dalam Kontradiksi yang Menyatukan.*
Ada keberanian moral yang luar biasa dalam keputusan ini. Ketika Presiden Prabowo mencantumkan nama Soeharto, tokoh yang lama diperdebatkan karena warisan Orde Baru, bersanding dengan Marsinah, aktivis buruh yang gugur memperjuangkan hak pekerja, dunia tahu: Indonesia sedang belajar dewasa.
Haidar Alwi menilai, langkah ini bukan pencucian sejarah, tetapi penyatuan sejarah.
“Soeharto dan Marsinah mungkin hidup di dua sisi berbeda, tapi keduanya mengajarkan satu hal: pengorbanan demi cita-cita bangsa,” ujar Haidar Alwi.
Keberanian Prabowo mencantumkan dua kutub sejarah ini sekaligus adalah bukti bahwa negara kini siap menulis bab baru, bab yang tidak diwarnai dendam, tapi dialog.
Nama-nama lain pun mengisi spektrum kepahlawanan yang luas:
– Gus Dur, sang juru damai yang membela kemanusiaan di atas ideologi;
– Mochtar Kusumaatmadja, arsitek hukum laut dunia yang menjadikan Indonesia diakui sebagai negara kepulauan;
– Rahmah El Yunusiyyah, pelopor pendidikan perempuan di Padang Panjang;
– Sarwo Edhie Wibowo, prajurit teguh yang menjaga keutuhan negara di masa paling genting;
– Sultan Muhammad Salahuddin, pemersatu rakyat Bima dan penjaga kehormatan daerah;
– Syaikhona Kholil, guru besar spiritual bangsa dari Madura;
– Tuan Rondahaim Saragih, tokoh adat pejuang dari Simalungun;
– Zainal Abidin Syah, Sultan Tidore yang berperan besar dalam integrasi Papua ke NKRI.
Kesepuluh nama ini, kata Haidar Alwi, bukan hanya pahlawan, melainkan representasi dari jiwa Indonesia yang majemuk namun satu.
*“Ketika ulama, buruh, jenderal, presiden, dan sultan berada dalam satu barisan pahlawan, itu artinya kita sedang menyatukan bukan tubuh bangsa, tapi jiwanya,”* tegas Haidar Alwi.
*Rekonsiliasi Adalah Keberanian Baru.*
Rekonsiliasi sejarah bukan pekerjaan mudah. Butuh keberanian, bukan hanya dari pemimpin, tapi dari rakyat untuk melihat masa lalu tanpa kebencian. Haidar Alwi memuji langkah Presiden Prabowo yang menempatkan penghargaan ini sebagai jalan kebangsaan, bukan jalan politik.
Menurut Haidar Alwi, Prabowo Subianto memahami satu hal penting: bahwa bangsa tidak akan pernah tumbuh tanpa memaafkan sejarahnya sendiri.
*“Memaafkan bukan berarti melupakan, tapi mengubah luka menjadi pelajaran. Itu keberanian yang lebih besar daripada perang,”* kata Haidar Alwi.
Dalam pandangan Haidar Alwi, kebijakan ini sejalan dengan semangat politik rekonsiliasi yang sudah ditunjukkan Prabowo sejak awal pemerintahannya: merangkul lawan politik, menempatkan oposisi dalam harmoni, dan menegakkan keberagaman sebagai kekuatan nasional.
Langkah ini bukan hanya diplomasi sejarah, tetapi terapi moral bangsa yang sudah terlalu lama terbelah.
*Menyalakan Pahlawan di Dalam Diri Bangsa.*
Haidar Alwi mengingatkan, pahlawan sejati tidak menunggu pengakuan. Mereka berjuang karena cinta, bukan karena ingin dikenang. Karena itu, rakyat pun harus meneladani nilai dari sepuluh tokoh tersebut, bukan sekadar menghafal nama-namanya.
Haidar Alwi mencontohkan: belajar dari Gus Dur tentang toleransi, dari Marsinah tentang keberanian, dari Rahmah El Yunusiyyah tentang pendidikan, dari Mochtar Kusumaatmadja tentang diplomasi, dan dari Soeharto tentang keteguhan membangun bangsa.
*“Setiap tokoh itu adalah cermin kecil dari perjuangan kita sendiri. Bangsa ini akan maju jika rakyatnya berhenti menjadi penonton sejarah, dan mulai menulis babnya sendiri,”* jelas Haidar Alwi.
Bagi Haidar Alwi, generasi muda hari ini punya tanggung jawab untuk menjaga warisan moral para pahlawan.
*“Jadilah pahlawan tanpa perang. Berjuanglah dengan ilmu, dengan empati, dan dengan tanggung jawab sosial. Karena pahlawan bukan yang gugur, tapi yang tetap hidup untuk menjaga kebenaran,”* tegas Haidar Alwi.
Dalam momentum Hari Pahlawan 10 November 2025, keluarga besar Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute menyampaikan penghormatan kepada sepuluh tokoh penerima gelar pahlawan nasional, serta kepada seluruh putra bangsa yang telah berjuang tanpa tanda jasa.
*“Kami menghaturkan rasa hormat setinggi-tingginya kepada Presiden Prabowo Subianto atas keberanian moralnya menegakkan keseimbangan sejarah. Dan kepada seluruh pahlawan bangsa, yang diabadikan atau yang masih berjuang dalam senyap, semoga cahaya perjuangan kalian terus menerangi nurani bangsa.”*
Bagi Haidar Alwi, kepahlawanan adalah kesadaran, bukan gelar. Ia lahir dari cinta kepada negeri dan keberanian untuk berbuat benar.
*“Selama masih ada pemimpin yang berani jujur, rakyat yang mau bekerja, dan generasi muda yang mencintai bangsanya, Indonesia tidak akan pernah kehilangan pahlawan,”* pungkas Haidar Alwi.










