Haidar Alwi: Hikmah Di Balik 17+8 Tuntutan dan Bahaya Pola Nepal 2025.*

Nasional76 views

 

R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, menegaskan bahwa Demo Nepal 2025 bukan sekadar aksi rakyat menolak korupsi sebagaimana digambarkan media global. Demo tersebut, menurutnya, adalah cermin perebutan pengaruh asing di jantung Himalaya. *“Bila bangsa Indonesia tidak bisa belajar dari apa yang terjadi di Nepal, kita bisa jatuh pada jebakan yang sama: gerakan yang dibungkus jargon hak asasi manusia, demokrasi, dan kebebasan, tetapi sesungguhnya diarahkan untuk melemahkan negara dan melayani kepentingan asing,”* kata Haidar Alwi.

*Nepal di Persimpangan Himalaya.*

Nepal berada di posisi geografis yang sangat strategis, diapit India dan Tiongkok. Jalur Himalaya bukan sekadar bentang alam, tetapi juga koridor energi, perdagangan, dan pengaruh diplomasi. Proyek Belt and Road Initiative (BRI) yang digagas Beijing memperkuat hubungan Nepal dengan Tiongkok, dan inilah yang membuat blok Barat semakin resah. Demo besar 2025 yang mengguncang Nepal tidak bisa dilepaskan dari konteks tersebut. *“Nepal tidak hanya menghadapi persoalan domestik, tetapi juga tarik-menarik kepentingan global, sehingga aksi massa besar ini tidak bisa hanya dibaca sebagai protes rakyat semata, melainkan sebagai bagian dari skenario yang lebih luas,”* jelas Haidar Alwi.

*Pola Global: Dari Timur Tengah ke Asia.*

Demo Nepal 2025 memperlihatkan pola yang serupa dengan apa yang pernah terjadi di berbagai negara lain. *Di Mesir,* jatuhnya Hosni Mubarak hanya mengembalikan dominasi militer. *Di Libya,* tumbangnya Gaddafi membuat negara itu runtuh dan terjebak dalam perang saudara. *Di Ukraina,* lengsernya Yanukovych membuka jalan panjang menuju konflik dengan Rusia. Bahkan *di Suriah, Sudan, dan Tunisia,* gerakan rakyat yang dipoles dengan isu HAM hanya melahirkan instabilitas politik dan penderitaan rakyat. *“Pelajaran dari semua negara itu jelas: rakyat dimobilisasi, rezim dijatuhkan, lalu negara masuk dalam jurang kekacauan; inilah sebabnya kita harus memandang demo Nepal bukan sekadar aksi moral, tetapi sebagai sinyal bahaya bagi negara-negara lain yang sedang diawasi kekuatan asing,”* tegas Haidar Alwi.

*Membaca 17+8 Tuntutan dengan Kecermatan.*

Di Indonesia, munculnya 17+8 tuntutan dari sebagian kelompok perlu dikaji dengan sangat hati-hati. Sebagian isi memang terdengar normatif, namun cara penyampaian dalam bentuk ultimatum sangat mirip dengan pola destabilisasi yang dipakai di luar negeri. Tuntutan itu bisa jadi dipakai untuk melemahkan legitimasi pemerintah yang sah sekaligus bisa jadi menimbulkan polarisasi masyarakat. *“Kita tidak boleh menolak kritik rakyat, tetapi kita wajib kritis terhadap bentuk tuntutan yang dipolitisasi, sebab ada perbedaan besar antara aspirasi sejati rakyat dan agenda yang digerakkan pihak asing dengan menunggangi nama rakyat,”* kata Haidar Alwi.

*HAM dan Demokrasi: Pancasila vs Versi Barat.*

Perdebatan tentang HAM dan demokrasi juga sering dimanfaatkan. HAM versi Barat kerap kebablasan, dijadikan alat politik, bahkan dipakai untuk menjustifikasi intervensi asing. Indonesia memiliki jalan sendiri: HAM dan demokrasi berdasarkan Pancasila. Demokrasi Pancasila menjaga keseimbangan antara hak individu dan kepentingan bangsa, sedangkan demokrasi jalanan rawan menimbulkan kekacauan. *“HAM dan demokrasi Pancasila tidak bisa disamakan dengan model Barat, karena nilai kita lahir dari etika dan musyawarah; oleh karena itu, kritik tetap penting, tetapi harus membangun, bukan sekadar mengulang jargon asing yang tujuannya menjatuhkan negara,”* jelas Haidar Alwi.

*Tugas Pemerintah: Tegas, Terukur, Menenangkan.*

Negara memiliki tanggung jawab untuk hadir dengan tegas, namun juga menenangkan. Aparat harus bisa membedakan antara massa damai dan provokator. Penindakan terhadap provokator bukanlah pelanggaran HAM, melainkan langkah menjaga ketertiban dan kenyamanan masyarakat luas. Di saat yang sama, pemerintah wajib membuka kanal aspirasi resmi agar rakyat tidak merasa kehilangan ruang untuk bersuara. *“Ketegasan negara harus berjalan seiring dengan keterbukaan kanal aspirasi, sehingga rakyat terlindungi dari provokasi asing sekaligus merasa aman dan dihargai dalam proses demokrasi yang sehat,”* tegas Haidar Alwi.

*Alarm Nepal untuk Indonesia.*

Demo Nepal 2025 menjadi alarm keras bagi Indonesia. Atas nama rakyat, sebuah negara bisa digoyang. Atas nama demokrasi, legitimasi bisa dilemahkan. Dan atas nama HAM, kedaulatan bisa dirongrong. Indonesia harus belajar dari kasus Mesir, Libya, Suriah, Sudan, dan Ukraina. Jangan sampai kita menjadi babak berikutnya dalam skenario panjang perebutan pengaruh global. *“Bangsa Indonesia harus membedakan dengan cerdas antara kritik sejati yang lahir dari nurani rakyat dan kritik palsu yang ditunggangi agenda asing; hanya dengan cara itu kita bisa tetap berdiri tegak di atas Pancasila, menjaga kedaulatan bangsa, dan memastikan rakyat terlindungi dari jebakan geopolitik yang merugikan,”* pungkas Haidar Alwi.

News Feed