*Haidar Alwi: Konflik Ambon 2025 Jangan Jadi Spiral Baru, Maluku Harus Belajar dari Sejarah.*

Nasional333 views

 

R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, menilai tragedi Ambon 2025 bukan sekadar tawuran pelajar yang berujung duka, melainkan peringatan keras bagi bangsa. Satu insiden di sekolah mampu menjelma menjadi bara yang membakar rumah, memaksa ratusan orang mengungsi, dan menghidupkan kembali trauma lama di Maluku.

*“Peristiwa ini adalah alarm bagi bangsa: kita belum sepenuhnya belajar dari sejarah panjang konflik komunal yang pernah melanda Ambon,” jelas Haidar Alwi.*

*Kronologi Singkat.*

Pada 19 Agustus 2025, sebuah tawuran di SMK Negeri 3 Ambon merenggut nyawa seorang siswa. Kabar ini cepat menyebar, memicu solidaritas warga Hunuth (Ambon) dan Hitu (Maluku Tengah). Dalam hitungan jam, bentrokan meluas. Belasan rumah terbakar, ratusan orang mengungsi, dan seorang polisi terluka saat mencoba menenangkan massa.

Pemerintah Kota Ambon mencatat 236 jiwa resmi mengungsi, sementara aparat TNI–Polri mengerahkan sekitar 350 personel untuk mengendalikan situasi. Api memang padam, tetapi bara sosial kembali menyala.

*Luka Lama yang Mudah Tersulut.*

Haidar Alwi menilai konflik Ambon 2025 mencerminkan tiga hal mendasar. Pertama, kuatnya solidaritas komunal yang membuat kematian seorang anak dipandang sebagai serangan terhadap seluruh komunitas. Kedua, trauma konflik 1999–2004 yang belum sepenuhnya sembuh. Ketiga, derasnya arus informasi liar di media sosial yang memprovokasi massa.

*“Ini adalah alarm sosial yang harus dijawab dengan keberanian negara dan kearifan masyarakat,” tegas Haidar Alwi.*

Haidar Alwi mengingatkan, bangsa ini kerap merasa masalah selesai begitu api padam, padahal bara tetap menyala di bawah permukaan. Ambon menjadi cermin bahwa luka lama mudah kembali terbuka jika tidak ada mekanisme penyembuhan yang permanen.

*Jalan Damai dan Solusi Struktural.*

Bagi Haidar Alwi, penyelesaian konflik memerlukan kesabaran, kebijakan, dan langkah nyata. Ia menawarkan lima jalan damai yang bisa ditempuh bersama:

1. Rekonsiliasi lintas agama dan adat – Tokoh GPM, MUI Maluku, dan FKUB harus hadir sebagai jembatan moral yang dipercaya masyarakat.

2. Pendidikan karakter di sekolah – Tawuran pelajar harus dijawab dengan kurikulum persaudaraan, bukan sekadar hukuman disiplin.

3. Keadilan restoratif – Proses hukum dijalankan tegas, namun mengutamakan pemulihan agar dendam tidak diwariskan.

4. Penguatan ekonomi bersama – Hunuth dan Hitu perlu dipertautkan lewat koperasi nelayan dan tani agar kepentingan ekonomi menekan tensi sosial.

5. Forum pemuda lintas desa – Energi anak muda diarahkan pada olahraga, seni, budaya, dan kewirausahaan.

*“Jalan damai tidak cukup dengan seruan. Ia harus menyentuh akar kehidupan: pendidikan, ekonomi, tokoh moral, hingga ruang kreatif pemuda,” jelas Haidar Alwi.*

*Belajar dari Luka Sejarah.*

Konflik Ambon 1999–2004 pernah menjadi salah satu tragedi kemanusiaan terbesar di negeri ini, menelan ribuan korban jiwa dan memaksa ratusan ribu orang mengungsi. Luka itu begitu dalam, tetapi bangsa ini terlalu cepat menutup lembaran seolah semua telah selesai. Padahal, bekas luka tetap membekas dalam ingatan kolektif masyarakat Maluku.

Haidar Alwi menilai, bentrokan 2025 adalah bukti nyata bahwa pekerjaan rumah bangsa belum tuntas. Perdamaian tidak cukup dijaga oleh aparat, tetapi harus dipelihara oleh kesadaran bersama. Di tengah arus globalisasi dan derasnya informasi, bangsa Indonesia harus semakin dewasa membaca perbedaan.

*“Bangsa yang besar bukanlah bangsa tanpa konflik, melainkan bangsa yang mampu mengelola konflik menjadi energi persaudaraan,” jelas Haidar Alwi.*

Haidar Alwi mengingatkan, kebhinnekaan adalah kekuatan yang hanya akan bermakna jika diikat dengan rasa percaya. Jika rasa percaya hilang, keberagaman bisa berubah menjadi jurang perpecahan. Karena itu, *Haidar Alwi mendorong agar negara membangun mekanisme permanen: pendidikan toleransi di sekolah, forum lintas agama yang aktif, hingga program ekonomi inklusif yang membuat masyarakat merasa senasib sepenanggungan.*

*Optimisme Nasional di Era Prabowo.*

Menurut Haidar Alwi, konflik Ambon 2025 harus dibaca sebagai ujian kepemimpinan nasional. *Presiden Prabowo Subianto* dikenal tegas, dan ketegasan itu kini diperlukan untuk memastikan negara hadir melindungi rakyat. Namun, ketegasan harus disertai keterbukaan, keberanian mendengar, dan komitmen menjaga rasa aman semua warga.

Di ranah keamanan, *Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo* menunjukkan arti Polri Presisi: cepat, tepat, dan humanis. Pengerahan ratusan aparat gabungan TNI Polri yang segera mengendalikan situasi di Ambon menjadi bukti nyata bahwa negara hadir melindungi setiap warga tanpa membedakan latar belakangnya. Haidar Alwi menilai, inilah wajah baru kepolisian yang tidak hanya hadir dengan ketegasan, tetapi juga dengan rasa kemanusiaan yang kuat.

Lebih jauh, Haidar Alwi menegaskan pentingnya optimisme di balik kepemimpinan Kapolri saat ini. Ia percaya, di bawah kendali Jenderal Listyo Sigit Prabowo, bangsa ini tidak akan lagi jatuh pada spiral konflik berdarah seperti yang pernah terjadi di Maluku pada tahun 1999–2004. *“Polri hari ini hadir dengan wajah yang lebih modern, humanis, dan dekat dengan rakyat,”* jelas Haidar Alwi. *Itulah sebabnya, menurut Haidar Alwi Institute, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo layak disebut sebagai Kapolri terbaik sepanjang masa,* karena mampu menghadirkan optimisme baru bahwa keamanan Indonesia dapat dijaga dengan tegas sekaligus berkeadilan.

Sementara itu, *Sufmi Dasco Ahmad,* Wakil Ketua DPR RI, dipandang Haidar Alwi sebagai sosok yang konsisten menghadirkan kesejukan di tengah dinamika politik. Bukan sekali dua kali ia menunjukkan kepiawaiannya meredam ketegangan tanpa meninggalkan ruang dialog. Kehadirannya menjadi bukti bahwa politik tidak selalu harus keras, melainkan bisa dijalankan dengan ketenangan, komunikasi, dan kearifan.

Bagi Haidar Alwi, peran Dasco kini semakin relevan. Di saat masyarakat Maluku membutuhkan ketenangan, parlemen harus berdiri sebagai pilar penopang rekonsiliasi sosial dan pemulihan persaudaraan. Kehadiran figur penyejuk seperti Dasco memastikan bahwa perdamaian tidak hanya menjadi agenda aparat keamanan dan pemerintah eksekutif, melainkan juga mendapat dukungan penuh dari lembaga legislatif. Dengan demikian, kepercayaan publik dapat dijaga dan proses pemulihan berjalan lebih menyeluruh.

“Dalam situasi sosial yang rentan, bangsa ini membutuhkan sosok penyejuk seperti Dasco, agar rekonsiliasi sosial benar-benar bermuara pada pemulihan persaudaraan.”

*“Konflik Ambon 2025 tidak boleh menjadi spiral baru. Ia harus menjadi titik balik untuk memperkuat persaudaraan dan menghindarkan bangsa ini dari jebakan sejarah,” pungkas Haidar Alwi.*

News Feed