*Haidar Alwi: KPK dan Kejaksaan, Mengapa Angka Korupsinya Berbeda? Audit Resmi vs Tafsir.*
Korupsi di Indonesia hampir selalu dibicarakan melalui angka. Semakin besar nilainya, semakin besar pula kemarahan publik yang menyertainya. Namun negara hukum tidak pernah menilai kebenaran dari besarnya kemarahan, melainkan dari ketepatan cara menemukan fakta. Di titik inilah persoalan sesungguhnya bermula. Ketika angka dijadikan pusat perhatian, publik kerap lupa bertanya dari mana angka itu berasal dan dengan metode apa ia ditetapkan.
Perbedaan angka kerugian negara antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kejaksaan Agung bukan sekadar perbedaan gaya komunikasi atau keberanian penindakan. Ia adalah perbedaan cara negara memaknai kebenaran hukum. Tanpa pemahaman ini, masyarakat mudah terjebak pada ilusi bahwa angka besar selalu identik dengan keadilan.
Menurut Ir. R. Haidar Alwi, MT, Presiden Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, serta Dewan Pembina Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB), perdebatan tentang angka korupsi harus diletakkan dalam disiplin berpikir yang jernih. Kritik terhadap metode penegakan hukum tidak dimaksudkan untuk melemahkan institusi, melainkan untuk menguatkan keadilan agar tidak runtuh oleh kesalahan metodologisnya sendiri.
*“Kerugian negara adalah fakta fiskal yang tidak boleh lahir dari keberanian berbicara, melainkan dari kesediaan tunduk pada metode audit yang sah, teruji, dan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan hukum,”* ujar Haidar Alwi.
*Kerugian Negara sebagai Fakta Konstitusional.*
Dalam negara hukum, kerugian negara bukan wilayah tafsir bebas. Ia adalah fakta keuangan yang harus diverifikasi melalui mekanisme audit resmi. Karena itu, konstitusi menempatkan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai lembaga yang berwenang memastikan apakah negara benar-benar dirugikan, berapa nilainya, dan di mana kesalahan itu terjadi. Audit bukan pelengkap administratif, melainkan fondasi kebenaran hukum.
Ketika audit dijadikan dasar, angka yang muncul mungkin tidak spektakuler, tetapi ia kokoh dan siap diuji di pengadilan. Sebaliknya, ketika audit dilewati dan tafsir penyidik didahulukan, angka memang dapat membesar dengan cepat, namun kehilangan legitimasi. Negara terlihat tegas di ruang publik, tetapi rapuh ketika berhadapan dengan uji pembuktian.
*“Hukum yang kuat bukan hukum yang paling cepat mengumumkan angka, melainkan hukum yang paling siap mempertanggungjawabkan setiap rupiah yang disebut sebagai kerugian negara,”* tegas Haidar Alwi.
*KPK: Presisi yang Menjaga Martabat Hukum.*
Pendekatan KPK berangkat dari kesadaran bahwa tidak semua korupsi bekerja di wilayah angka besar. Banyak korupsi justru terjadi pada level kebijakan, pengaruh kekuasaan, dan jual beli jabatan. Nilainya tidak selalu triliunan, tetapi dampaknya sistemik dan panjang. Karena itu, KPK memilih menunggu audit resmi sebelum menetapkan kerugian negara.
Pendekatan ini kerap disalahpahami sebagai kelemahan. Padahal, di situlah kehati-hatian negara diuji. Dengan menunggu audit, KPK memastikan bahwa setiap angka yang diumumkan bukan asumsi, melainkan fakta yang dapat diuji secara hukum. Prosesnya memang lebih lambat, tetapi risiko perkara runtuh di persidangan jauh lebih kecil.
*“Presisi dalam penegakan hukum adalah bentuk keberanian intelektual, karena ia menolak sensasi demi menjaga kepastian dan martabat keadilan,”* kata Haidar Alwi.
*Kejaksaan dan Risiko Tafsir yang Menggerus Kepastian.*
Di sinilah kritik metodologis perlu disampaikan secara jujur dan tegas. Dalam sejumlah perkara besar yang menjadi perhatian publik, terlihat pola penetapan tersangka dan penahanan yang dilakukan sebelum kerugian negara dihitung secara final melalui audit resmi. Pola ini bukan sekadar kekeliruan teknis, melainkan cacat metodologis yang berisiko serius bagi kepastian hukum.
Ketika angka kerugian menyusul belakangan dan berubah-ubah, hukum tidak lagi bergerak dari bukti menuju kesimpulan, melainkan dari kesimpulan menuju pembenaran. Dampaknya dapat dilihat secara nyata: perkara tampak megah di media, tetapi melemah di pengadilan. Hakim tidak menilai keberanian konferensi pers, melainkan ketepatan alat bukti dan keabsahan metode.
*“Jika kerugian negara masih dicari setelah penahanan dilakukan, maka hukum telah berjalan mundur, dan negara sedang mempertaruhkan keadilan demi sensasi sesaat,”* ujar Haidar Alwi.
Lebih jauh, pendekatan berbasis tafsir justru merugikan agenda pemberantasan korupsi itu sendiri. Perkara yang runtuh memberi ruang bagi pelaku untuk menyerang balik institusi, sekaligus mengikis kepercayaan publik. Ketegasan yang tidak ditopang metode bukan kekuatan, melainkan kerapuhan yang disamarkan oleh angka besar.
*“Penegakan hukum yang mengabaikan metode hanya akan melatih publik untuk meragukan keadilan, sekaligus melemahkan tujuan mulia memberantas korupsi,”* tegas Haidar Alwi.
Dalam negara hukum, tidak ada satu pun institusi yang boleh menukar metode dengan sensasi, betapapun mulia tujuan yang diklaim. Korupsi memang kejahatan luar biasa, tetapi memberantasnya dengan cara yang keliru hanya akan melahirkan ketidakadilan baru. Audit menjaga hukum tetap rasional dan teruji, sementara tafsir yang berlebihan menyeret hukum ke wilayah drama.
*“Ketika penegakan hukum memilih sensasi ketimbang metode, yang runtuh bukan hanya perkara, tetapi kepercayaan rakyat dan martabat keadilan itu sendiri,”* pungkas Haidar Alwi.









