R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, menegaskan bahwa masih banyak rakyat Indonesia yang belum mengetahui betapa besarnya potensi mineral strategis di negeri ini. Salah satu yang paling jarang dibicarakan di ruang publik adalah logam tanah jarang (LTJ) atau rare earth element (REE). Padahal, LTJ inilah yang menjadi rebutan dunia karena perannya vital dalam industri teknologi tinggi dan pertahanan. *“Kalau rakyat tidak tahu, rakyat bisa jadi penonton di tanah sendiri. Padahal, inilah kunci masa depan yang akan menentukan apakah bangsa kita benar-benar merdeka secara ekonomi atau hanya sekadar mandiri di atas kertas,”* kata Haidar Alwi.
*Apa Itu Logam Tanah Jarang?*
Logam tanah jarang terdiri dari 17 unsur yang meliputi 15 unsur lantanida ditambah yttrium (Y) dan scandium (Sc). Unsur-unsur ini berfungsi sebagai bahan baku utama berbagai perangkat modern. Ponsel pintar, mobil listrik, turbin angin, panel surya, satelit, bahkan radar dan rudal presisi tinggi semuanya membutuhkan LTJ.
*_Contoh aplikasinya antara lain:_*
– Nd:YAG (Yttrium Aluminum Garnet) untuk laser optik militer seperti rangefinder dan sistem bidik.
– Terfenol-D, paduan Tb–Dy–Fe, digunakan pada sonar dan aktuator pertahanan.
– Magnet permanen Nd–Pr–Dy, menjadi jantung motor listrik kendaraan dan turbin angin.
*“Bayangkan, hampir semua teknologi yang kita pakai sehari-hari ada unsur LTJ di dalamnya. Jadi jangan pernah anggap remeh mineral ini, karena tanpa LTJ tidak akan ada masa depan kendaraan listrik, energi hijau, atau alat pertahanan modern,”* jelas Haidar Alwi.
*Potensi Indonesia: Besar tapi Belum Digarap Serius.*
Menurut Booklet LTJ Kementerian ESDM 2020, Indonesia memiliki 28 lokasi mineralisasi LTJ. Namun, baru sekitar 9 lokasi (30%) yang telah dieksplorasi awal, sedangkan 19 lokasi (70%) sisanya masih belum optimal.
*_Beberapa daerah potensial adalah:_*
– Bangka Belitung dan Kepri: cadangan besar dari tailing dan aluvial timah, estimasi teoritis mencapai ratusan ribu ton.
– Sumatera: endapan pelapukan, ±19.917 ton.
– Kalimantan Barat: terkait bauksit, emas, dan zirkon.
– Sulawesi: potensi dari laterit nikel dan skandium.
*“Mayoritas rakyat tidak tahu bahwa harta karun ini muncul sebagai produk samping dari pengolahan timah, bauksit, dan nikel. Jadi sebenarnya, ketika kita bicara tambang yang sudah berjalan, kita sedang bicara pintu masuk ke dunia logam tanah jarang. Kalau rakyat tahu, rakyat bisa ikut mengawal agar jangan sampai hasilnya hanya keluar ke luar negeri tanpa nilai tambah,”* tegas Haidar Alwi.
*Nilai Ekonomi Fantastis.*
Potensi besar ini makin terasa ketika kita melihat nilai ekonominya di pasar global. Harga LTJ, khususnya neodymium (Nd), kini menembus 785.000 CNY per ton atau setara Rp1,8 miliar per ton per akhir Agustus 2025. Dalam sebulan naik lebih dari 20%, dan dalam setahun melesat lebih dari 50%. Dibandingkan batubara yang hanya sekitar Rp1,8 juta per ton, harga neodymium 1.000 kali lipat lebih mahal.
Kenaikan harga ini bahkan melampaui reli emas, perak, dan platinum. Hanya rhodium yang bisa menandingi lonjakan tajamnya. *“Artinya, kalau dikelola benar, LTJ bisa jadi penyumbang devisa luar biasa. Tapi lebih dari itu, ini bisa jadi fondasi ekonomi nasional yang membuat rakyat kita tidak lagi bergantung pada utang atau pajak yang membebani. Ini peluang emas, atau lebih tepatnya peluang putih, yang tidak boleh disia-siakan,”* kata Haidar Alwi.
*Geopolitik & Tantangan.*
Di balik peluang, ada tantangan besar. Pertama, sebagian mineral LTJ seperti monasit mengandung unsur radioaktif (thorium dan uranium). Artinya, pengelolaan wajib patuh izin BAPETEN dan standar keselamatan radiasi. Kedua, teknologi pemurnian LTJ masih terbatas di Indonesia. Saat ini, Cina menguasai lebih dari 90% pemrosesan dan manufaktur magnet REE dunia.
*“Kalau kita hanya jadi penjual bahan mentah, maka yang untung tetap asing. Rakyat kita hanya dapat sisanya. Inilah pola lama yang harus kita hentikan. Indonesia harus berdaulat di sektor ini, karena logam tanah jarang adalah urat nadi peradaban masa depan,”* tegas Haidar Alwi.
*Langkah Pemerintah: Lahirnya Badan Industri Mineral*
Sebagai langkah awal, Presiden Prabowo Subianto membentuk Badan Industri Mineral (BIM) lewat Keppres 77/P Tahun 2025, dengan Brian Yuliarto sebagai kepala. BIM akan mengelola mineral strategis termasuk LTJ untuk kebutuhan pertahanan dan ekonomi nasional.
Langkah ini dinilai Haidar Alwi sebagai momentum penting. *“BIM harus memastikan bahwa LTJ dikelola sesuai Pasal 33 UUD 1945, dikuasai negara, dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Jangan sampai hanya jadi lembaga baru tanpa aksi nyata. BIM harus hadir sebagai garda depan kedaulatan mineral strategis Indonesia,”* ujar Haidar Alwi.
*Hilirisasi & Rakyat Ikut Menikmati.*
Menurut Haidar Alwi, ada tiga hal yang harus diprioritaskan:
1. Hilirisasi dalam negeri: jangan hanya ekspor bahan mentah, tapi bangun industri magnet permanen, baterai, dan komponen canggih di tanah air.
2. Koperasi tambang rakyat: rakyat di daerah penghasil harus dilibatkan agar mendapat manfaat langsung, bukan hanya perusahaan besar.
3. Kedaulatan atas sumber daya: kerja sama internasional boleh saja, tapi kendali harus tetap di tangan bangsa sendiri.
*“LTJ bukan hanya soal tambang, tapi soal masa depan teknologi, pertahanan, dan martabat bangsa. Kalau kita biarkan dikuasai asing, sama saja kita menyerahkan kunci peradaban masa depan. Kalau kita kelola bersama, ini bisa jadi modal lahirnya kemandirian ekonomi yang sejati,”* pungkas Haidar Alwi.