Haidar Alwi: Menjaga Martabat Fiskal dan Mengakhiri Jebakan Utang Gaya Lama.*

Nasional20 views

*Haidar Alwi: Menjaga Martabat Fiskal dan Mengakhiri Jebakan Utang Gaya Lama.*

R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, menegaskan bahwa pergantian Menteri Keuangan bukan hanya soal administrasi rutin, melainkan sebuah momentum strategis yang menentukan masa depan ekonomi Indonesia. Menurutnya, sejarah panjang bangsa ini memperlihatkan bagaimana jebakan utang bisa dibungkus dengan narasi pembangunan. Sejak 1967, Indonesia sudah diajarkan bahwa utang yang tampak sebagai bantuan justru dapat berubah menjadi beban jangka panjang.

*“Sejarah kita tidak boleh diulang dengan kemasan berbeda. Utang yang disulap menjadi pembangunan hanyalah jebakan lama yang membahayakan martabat bangsa,”* tegas Haidar Alwi.

*Dari Sejarah Jebakan Utang Menuju Tantangan Baru.*

Haidar Alwi mengingatkan pada periode penting dalam sejarah ekonomi Indonesia. Konferensi Jenewa 1967 menjadi titik balik ketika perusahaan asing seperti Freeport dan Alcoa mulai menguasai sumber daya strategis bangsa. Saat itu, lembaga keuangan internasional menawarkan pinjaman yang disebut sebagai “bantuan pembangunan”. Narasi ini membuat rakyat percaya seolah-olah Indonesia sedang dibantu, padahal faktanya negara sedang masuk dalam lingkaran utang permanen.

Selama bertahun-tahun, utang tersebut tidak disebut utang luar negeri dalam APBN, melainkan dicatat sebagai “pemasukan pembangunan”. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya framing yang menutupi risiko fiskal. Indonesia seperti dipaksa tumbuh di atas kertas, sementara kedaulatan ekonomi semakin tergerus.

Kini, tantangan baru muncul seiring digantikannya Sri Mulyani dari posisi Menteri Keuangan oleh Dr. Purbaya Yudhi Sadewa. Sosok Purbaya dikenal sebagai ekonom dengan pengalaman panjang, dari Danareksa hingga memimpin Lembaga Penjamin Simpanan, dengan latar akademik yang kuat dari Purdue University. Pasar sempat menyambutnya dengan optimisme, tetapi beban yang ia hadapi jauh lebih besar: menjaga stabilitas fiskal di tengah janji politik yang membutuhkan pembiayaan besar.

*“Indonesia tidak boleh lagi terjebak dalam candu utang. Menteri Keuangan yang baru harus berani memastikan setiap rupiah yang dipinjam benar-benar memberi nilai tambah bagi rakyat, bukan hanya memperindah laporan angka makro,”* kata Haidar Alwi.

*Menegakkan Rambu Fiskal dan Belanja Produktif.*

Menurut Haidar Alwi, *ada tiga rambu penting* yang harus ditegakkan jika Indonesia ingin menjaga martabat fiskalnya. *Pertama,* lintasan defisit dan utang jangka menengah harus diumumkan secara terbuka. Rakyat berhak tahu arah kebijakan fiskal, bukan sekadar mendengar janji bahwa defisit terkendali. *Kedua,* semua kerja sama pemerintah dengan BUMN dan skema pembiayaan kreatif seperti PPP harus dihitung sebagai kewajiban nyata. Tidak boleh lagi ada beban terselubung yang suatu hari muncul tiba-tiba di pundak rakyat. *Ketiga,* utang hanya boleh digunakan untuk belanja produktif, bukan belanja konsumtif yang habis dalam hitungan bulan.

Haidar Alwi menekankan bahwa belanja negara harus diarahkan untuk menurunkan biaya hidup rakyat. Program makan siang gratis yang dicanangkan pemerintah, misalnya, jangan sampai sekadar menjadi proyek serapan anggaran. Program ini harus menjadi mesin penggerak ekonomi lokal dengan memberdayakan petani, peternak, dan nelayan dalam negeri. Beras, telur, susu, dan sayur seharusnya diserap dari produksi nasional sehingga setiap rupiah yang dikeluarkan negara kembali ke rakyat.

*“Kalau belanja negara hanya menambah angka PDB tanpa mengurangi beban rakyat, kita sedang mengulang kesalahan lama. PDB bukan tujuan akhir, melainkan alat menuju kesejahteraan rakyat,”* jelas Haidar Alwi.

*Menutup Celah SDA dan Melindungi Rupiah.*

Selain disiplin fiskal, Haidar Alwi menyoroti pentingnya pengelolaan sumber daya alam yang adil dan transparan. Setiap kontrak tambang, migas, atau perkebunan besar harus dievaluasi ulang agar benar-benar memberikan manfaat bersih bagi negara. Tidak boleh lagi ada kontrak yang hanya menguntungkan perusahaan asing, sementara rakyat hanya menerima dampak lingkungan dan kerugian jangka panjang. Royalti, kewajiban transfer teknologi, dan persyaratan konten lokal harus diperkuat agar Indonesia memiliki posisi tawar yang tinggi.

Di sisi lain, stabilitas rupiah juga menjadi kunci kedaulatan ekonomi. Rupiah tidak boleh terus-terusan rapuh setiap kali ada gejolak global. Untuk itu, Haidar Alwi menekankan pentingnya memperdalam pasar keuangan domestik, memperluas penggunaan Local Currency Settlement (LCS) dalam perdagangan dengan mitra strategis, serta mewajibkan lindung nilai bagi BUMN dan korporasi yang berutang dalam dolar.

*“Menjaga rupiah bukan hanya tugas Bank Indonesia, melainkan juga bagian dari politik fiskal. Rupiah adalah simbol martabat bangsa. Kalau rupiah runtuh, yang runtuh bukan hanya angka ekonomi, tetapi juga harga diri kita sebagai bangsa,”* tegas Haidar Alwi.

*Momentum Menentukan.*

Pergantian Menteri Keuangan, menurut Haidar Alwi, adalah ujian bagi Presiden Prabowo Subianto untuk menunjukkan arah baru bagi Indonesia. Negara ini tidak boleh lagi terjebak dalam pola lama, di mana utang dipoles sebagai pembangunan sementara rakyat tetap menanggung derita. Presiden bersama Menteri Keuangan baru harus berani membuat terobosan dengan rambu fiskal yang jelas, belanja produktif yang nyata, dan kontrak SDA yang berpihak pada bangsa sendiri.

*“Kedaulatan fiskal tidak bisa ditawar. Martabat bangsa hanya bisa dijaga jika utang dikelola dengan disiplin, sumber daya alam dimanfaatkan untuk rakyat, dan rupiah dilindungi dari intervensi luar. Kalau itu dijalankan dengan konsisten, jebakan lama bisa diakhiri, dan Indonesia akan berdiri tegak sebagai bangsa bermartabat,”* pungkas Haidar Alwi.

News Feed