Bambang Soesatyo
Anggota DPR RI/Ketua MPR RI ke-15/Ketua DPR RI ke-20/Ketua komisi III DPR RI ke-7/Dosen Pascasarjana (S3) Ilmu Hukum Universitas Borobudur, Universitas Jayabaya dan Universitas Pertahanan (Unhan)
PEMERINTAH telah dan terus memberi pesan kepada komunitas pebisnis di sektor riel, utamanya komunitas pelaku UMKM, tentang kesungguhan dan konsistensi upaya pemulihan. Pesan berkelanjutan dari Presiden Prabowo Subianto itu ditandai dengan penugasan kepada Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk menyehatkan pasar dalam negeri dengan memerangi praktik penyelundupan ragam produk manufaktur.
Penyelundupan ragam produk manufaktur yang masif ke pasar dalam negeri nyata-nyata sudah menjadi faktor yang tidak hanya merusak kinerja perekonomian negara, melainkan juga ‘membunuh’ industri manufaktur dan jutaan unit bisnis usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Utamanya karena produk impor selundupan itu dijual dengan harga dumping. Karena itu, beberapa pendekatan yang telah ditempuh Menteri Purbaya patut diapresiasi karena baru kali ini regulator negara menunjukan kepedulian ekstra terhadap masalah penyelundupan produk manufaktur.
Pendekatan atau strategi Menteri Purbaya menangani penyelundupan tampak berkepastian dan layak menumbuhkan harapan. Tidak minimalis, tetapi mencerminkan kesungguhan pemerintah karena langsung menyentuh jantung persoalan, yakni institusi yang bertanggungjawab dan juga pelaksana regulasi, Tentu saja dalam hal ini adalah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (BC) Kementerian Keuangan.
Publik dan juga para pebisnis tahu dan merasakan bahwa sudah cukup lama regulator negara bersikap minimalis terhadap fakta praktik penyelundupan produk manufaktur ke pasar dalam negeri. Eksesnya adalah terjadi anomali dalam perekonomian nasional dewasa ini. Fenomena ini bukan asumsi melainkan fakta tak terbantahkan. Fakta anomali inilah yang dihadapi pemerintahan Presiden Prabowo.
Menjadi anomali karena total konsumen yang hampir 270 juta jiwa (data jumlah penduduk Indonesia per 2025 terbilang 286.693.693) adalah pasar yang besar. Namun, data tentang skala pasar ini tidak otomatis menjadikan sektor industri dalam negeri produktif. Sebaliknya, hampir sebagian besar kebutuhan konsumen akan produk manufaktur yang dijajakan di pasar dalam tahun-tahun terakhir ini bukan produk dalam negeri. Bahkan, sebagaimana dilaporkan kepada Menteri Purbaya baru-baru ini, hampir sebagian besar busana gamis yang dijajakan di pasar lokal sekalipun diketahu sebagai produk impor.
Hal ini terjadi karena industri manufaktur skala besar maupun skala UMKM justru bertumbangan karena bangkrut. Kisah tentang kebangkrutan itu tercermin pada kasus PT Sepatu Bata dan PT Sritex. Bahkan, sentra-sentra industri telah mati suri karena tidak produktif lagi. Padahal, di tahun-tahun terdahulu, sejumlah sentra industri di berbagai daerah terkenal karena mutu dan produktivitasnya dalam industri tekstil dan produk tekstil (TPT), alas kaki (sepatu-sandal), industri furniture, industri elektronik serta alat musik. Kini, semua itu tinggal cerita, karena tergusur oleh barang selundupan yang membanjiri pasar dalam negeri.
Itulah fakta tentang kekuatan mematikan dari praktik penyelundupan produk manufaktur ke pasar dalam negeri. Sejumlah kalangan melihat fenomena itu sebagai kecenderungan deindustrialisasi di Indonesia. Data Kemenkop dan UKM mencatat bahwa pada 2021 jumlah pelaku UMKM mencapai 64,2 juta unit dengan daya serap tenaga kerja yang besar. Hari-hari ini, wajah UMKM Indonesia sangat menyedihkan.
Menurut asosiasi UMKM, sekitar 30 juta unit usaha sudah bangkrut. Pertumbuhan UMKM dalam beberapa tahun terakhir belum jelas. Tetapi, dengan membaca catatan Bank Indonesia (BI) tentang pertumbuhan kredit UMKM, gambarannya masih memprihatinkan. BI mencatat bahwa pertumbuhan kredit perbankan untuk UMKM hingga akhir 2024 turun ke level terendah, yakni 3 persen.
Padahal, ketika kinerja perekonomian negara belum dirusak oleh gelombang penyelundupan produk manufaktur, kontribusi UMKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia terbilang signifikan, mencapai 60 persen. UMKM bahkan menjadi penyangga perekonomian nasional di masa sulit, dengan kemampuannya menyerap tenaga kerja sampai 97 persen dari total tenaga kerja.
Bukan cerita baru bahwa pasar dalam negeri saat ini sarat dengan TPT ilegal, termasuk pakaian bekas. Barang selundupan lainnya meliputi ragam produk elektronik, produk kebutuhan rumah tangga hingga produk makanan-minuman, obat-obatan serta kosmetik. Semua produk ilegal itu ditawarkan melalui beberapa platform media sosial.
Sering muncul ungkapan bahwa kebangkrutan UMKM dan perusahaan manufaktur lokal disebabkan melemahnya permintaan di pasar dalam negeri akibat menurunnya daya beli konsumen atau konsumsi rumah tangga. Ungkapan seperti itu tidak salah. Namun, ada aspek lain yang juga relevan untuk dipersoalkan. Misalnya, mengedepankan pertanyaan tentang mengapa daya beli konsumen melemah sehingga permintaan menurun?
Akan ditemukan jawaban bahwa hari-hari ini Jutaan konsumen sedang menyandang status pengangguran. Jutaan angkatan kerja Indonesia itu tak bisa menghindari kebijakan pemutusan hubungan kerja (PHK) dari tempat mereka bekerja sebelumnya. Data resmi mencatat bahwa total pengangguran tahun ini 7,28 juta. Tetapi, jumlah riel-nya dipastikan lebih besar dari itu.
PHK terjadi karena jutaan UMKM dan perusahaan skala besar bangkrut. Setiap kali membahas tema kebangkrutan perusahaan, ingatan banyak orang mengarah pada kasus PT Sepatu Bata dan PT Sritex. Namun gambaran lebih komprehensif bisa dibaca pada catatan atau data Mahkamah Agung (MA). Tahun 2024 misalnya, catatan MA menyebutkan bahwa ada 195 putusan perkara pailit. Dan, sepanjang 2025 ini, sudah puluhan perkara pailit diputuskan MA.
Kebangkrutan terjadi karena produk dalam negeri tersingkir oleh barang selundupan yang dijual dengan harga dumping. Akibat lanjutannya lebih memprihatinkan. Banyak pebisnis ragu-ragu untuk memulai inisiatif baru karena pasar dalam negeri belum prospektif. Daya serap dunia usaha nasional terhadap penawaran kredit dari perbankan dalam negeri pun melemah.
Maka, langkah awal pemulihan produktivitas industri nasional harus dimulai dengan menyehatkan pasar dalam negeri. Pasar lokal menjadi sehat jika tidak ada lagi toleransi berlebihan terhadap produk selundupan. Kesungguhan Menteri Purbaya memberantas penyelundupan patut didukung, sebab pemberantasan itu layak dimaknai sebagai langkah awal upaya memulihkan produktivitas sektor industri nasional dan UMKM. Sudah barang tentu produk impor di pasar lokal tidak diharamkan, tetapi volumenya harus proporsional sesuai kesepakatan dagang antar-negara.
Buah dari langkah awal pemulihan produktivitas industri nasional dan UMKM adalah terciptanya jutaan lapangan kerja. Ketika sektor industri dan UMKM menyerap banyak angkatan kerja, daya beli atau konsumsi rumah tangga secara bertahap akan menguat lagi.






