Tanah Adat Dihancurkan, Marwah Tercoreng: MAI Dorong Negara Tindak Tegas Gugatan Rp100 Triliun Tunggu Para Pelaku Eksploitasi

Budaya59 views

Teks Foto : Ilustrasi, (dok.google/ist)

Jakarta , KESBANG NEWS— Majelis Adat Indonesia (MAI) secara resmi menyatakan sikap nasional atas berbagai bencana ekologis dan kerusakan wilayah adat yang terus terjadi di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh. Pernyataan tegas ini disampaikan oleh Duli Yang Maha Mulia (DYMM) Sri Paduka Baginda Tuanku Raja Gontar IV Dr. Drs. Syafri Fadillah M, S.E., M.Pd., Al-Hajj (Raja Generasi ke-17 Kerajaan Aru, Sumatera Utara) yang tergabung dalam Forum Komunikasi MAI yang dihadiri para Raja, Sultan, Datuk, Ratu, dan Tokoh Pemangku Adat Nusantara, Sabtu (6/12/2025).

Dalam penjelasannya, DYMM SPB Tuanku Raja Gontar IV menegaskan bahwa kerusakan lingkungan saat ini bukan sekadar persoalan administratif atau ekonomi, melainkan telah menyentuh luka terdalam peradaban adat Nusantara. “Yang dirusak bukan hanya tanah dan hutan, tetapi martabat, sejarah, dan masa depan anak cucu masyarakat adat. Jika negara abai, maka yang runtuh bukan hanya alam, tetapi juga kepercayaan rakyat kepada keadilan,” tegas beliau yang juga berprofesi sebagai Pengamat Hukum dan Ekonomi.

Menurutnya, tanah ulayat, hutan adat, sungai, dan ruang hidup masyarakat adat adalah warisan peradaban yang tidak boleh diperdagangkan dengan dalih investasi. Negara, lanjut beliau, wajib berdiri di garis terdepan untuk melindungi hak-hak adat sebagaimana amanat konstitusi.

DITUJUKAN LANGSUNG KEPADA PRESIDEN PRABOWO SUBIANTO

MAI secara terbuka menyampaikan permohonan dan tuntutan keadilan kepada Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, agar negara hadir secara nyata, berdaulat, dan menindak tegas seluruh pihak yang terbukti melakukan perusakan baik korporasi legal yang melanggar hukum maupun jaringan tambang ilegal. MAI menilai bahwa kerusakan ekologis telah melampaui batas toleransi sosial, adat, dan lingkungan, serta menimbulkan kerugian besar lintas generasi bagi masyarakat adat di tiga provinsi tersebut.

MAI SIAP TEMPUH JALUR HUKUM, GUGAT GANTI RUGI RP100 TRILIUN

Sebagai langkah konstitusional dan serius, MAI menyatakan kesiapan mengajukan gugatan ganti rugi senilai Rp100 triliun terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kehancuran wilayah adat. Nilai tersebut mencakup kerusakan tanah ulayat dan hutan adat, hilangnya sumber mata pencaharian masyarakat adat, kerusakan rumah adat dan infrastruktur sosial, serta dampak ekologis jangka panjang yang mengancam generasi mendatang. DYMM Raja Gontar IV menegaskan bahwa ganti rugi bukan semata soal angka, tetapi bentuk tanggung jawab moral, hukum, dan peradaban.

MAI mengingatkan seluruh pelaku usaha agar tidak menjadikan wilayah adat sebagai objek eksploitasi tanpa pertanggungjawaban. Pembangunan yang mengorbankan masyarakat adat dan merusak tatanan budaya disebut sebagai bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi dan nilai luhur bangsa. Forum ini juga menyerukan kepada akademisi, aktivis lingkungan, tokoh agama, dan media nasional untuk mengawal proses penegakan hukum agar tidak tenggelam oleh kepentingan politik maupun oligarki ekonomi.

PENEGASAN PENUTUP SEKRETARIS JENDERAL MAI

Sekretaris Jenderal MAI, M. Rafik Datuk Rajo Kuaso (pemangku gelar adat Datuak Rajo Kuaso Cumati Koto Piliang Langgam Nan 7 Kerajaan Pagaruyung), menegaskan bahwa perjuangan MAI adalah perjuangan menjaga keadilan sejarah dan masa depan bangsa. “Kerusakan ini bukan hanya tragedi lingkungan, tetapi tragedi peradaban. Jika negara tidak berdiri bersama masyarakat adat hari ini, maka kita sedang membiarkan akar bangsa ini dicabut perlahan. MAI akan berdiri paling depan menjaga tanah adat, menjaga marwah, dan menjaga keadilan,” tegasnya.

WEJANGAN YANG DIPERTUAN AGUNG DIRAJA NUSANTARA

Duli Yang Maha Mulia Sri Paduka Baginda Berdaulat Agung Prof. Dr. M.S.P.A. Iansyah Rechza F.W., Ph.D., Maharaja Kutai Mulawarman (selaku Yang Dipertuan Agung Diraja Nusantara sekaligus Dewan Pendiri MAI), dalam forum yang sama menyampaikan bahwa perjuangan menegakkan keadilan adat bukan sekadar agenda organisasi, tetapi panggilan sejarah bangsa.

Menurut beliau, kerusakan wilayah adat adalah akibat dari tercerabutnya nilai-nilai keadaban dalam pengelolaan alam, di mana kekuasaan modal telah mengalahkan suara nurani dan hukum adat. “Negeri ini berdiri di atas tanah adat, di atas kearifan para leluhur. Jika tanah itu dihancurkan, maka yang runtuh bukan hanya ekosistem, tetapi juga sendi-sendi kebangsaan. Negara wajib hadir sebagai pengayom, bukan sebagai penonton,” tegasnya.

DYMM Maharaja Kutai Mulawarman menambahkan bahwa MAI didirikan sebagai benteng terakhir marwah peradaban Nusantara, untuk memastikan bahwa raja, sultan, datuk, ratu, dan seluruh pemangku adat tidak tinggal diam ketika hak-hak rakyat adat dirampas oleh keserakahan. Dalam kapasitasnya sebagai Dewan Pendiri MAI, beliau menegaskan bahwa seluruh elemen adat di Nusantara memiliki tanggung jawab suci untuk mengembalikan kehormatan budaya diraja dan martabat masyarakat adat melalui tindakan nyata.

“Mengembalikan marwah dan kehormatan budaya diraja Nusantara berarti menegakkan keadilan bagi rakyatnya. Raja tanpa keadilan adalah kehampaan, dan kekuasaan tanpa keberpihakan kepada yang lemah adalah pengkhianatan terhadap amanah leluhur,” ujar beliau, menambahkan bahwa MAI tidak akan gentar menghadapi tekanan politik maupun kekuatan modal karena yang diperjuangkan adalah masa depan generasi Nusantara.

Majelis Adat Indonesia (MAI) adalah wadah nasional para Raja, Sultan, Datuk, Ratu, dan Pemangku Adat se-Nusantara yang berfungsi sebagai penjaga nilai, martabat, kearifan lokal, serta hak-hak konstitusional masyarakat adat Indonesia. (Bar.S)

News Feed