Catatan Politik Bamsoe
Bambang Soesatyo
Anggota DPR RI/Ketua MPR RI
ke-15/Ketua DPR RI ke-20/Ketua komisi II| DPR RI ke-7/Dosen Pascasarjana (S3) lImu Hukum Universitas Borobudur, Universitas Jayabaya dan Universitas Pertahanan (Unhan)
ERA post-truth yang berfokus pada eksistensi personal atau kelompok patut dipahami sebagai jebakan pembodohan, karena benar atau salah sebuah fakta dan argumentasi menjadi tidak penting. Nyata bahwa post-truth berlawanan dengan prinsip kebenaran dan keadilan. Demi melindungi kewarasan bersama. negara hendaknya semakin bijaksana dan lebih sistematis dalam memerangi penyebarluasan hoax, misinformasi dan disinformasi.
Post-truth yang menciptakan jebakan pembodohan itu layak diterima dan disikapi sebagai tantangan bersama era terkini. Disadari atau tidak, salah satu model kejahatan era post truth yang nyaris terjadi setiap hari adalah rekayasa jebakan untuk membodohi banyak orang. Cara yang ditempuh adalah menjejali ruang pubik dengan menyosialisasikan narasi sesat, rangkaian pernyataan bohong hingga manipulasi informasi. Melalui penyebarluasan misinformasi, disinformasi serta hoax yang berkelanjutan pada platform media sosial, publik dipaksa untuk menerima fakta yang salah sebagai kebenaran, dan sebaliknya, fakta tentang kebenaran dipaksakan untuk diterima sebagai kesalahan.
Layak disebut kejahatan karena jebakan pembodohan (stupidity trap) itu menargetkan pengrusakan kewarasan bersama. Jebakan pembodohan tentu saja dirancang sedemikian rupa, dengan tujuan mencegah kemampuan individu atau komunitas menggunakan akal sehat, intelektualitas dan analisis kritis. Selain penyebarluasan hoax dan disinformasi, upaya pembodohan tak jarang dilakukan dengan menciptakan situasi – bahkan sistem – guna menimbulkan kebingungan, penyesatan, atau menghalangi orang berpikir kritis dalam memahami sebuah kebenaran maupun sebuah kesalahan.
Patut untuk disadari bersama bahwa semua itu dirancang dan dijejalkan ke ruang publik untuk menggoyahkan atau membuat rapuh kewarasan bersama. Lebih dari itu, jebakan pembodohan itu bahkan ditujukan untuk membentuk atau memelihara polarisasi masyarakat demi merawat dan melindungi kepentingan sempit kelompok-kelompok tertentu. Polarisasi yang telah terbentuk dilanjutkan dengan upaya menyulut emosi antar-kelompok masyarakat, semata-mata untuk menyikapi fakta masalah yang tidak berkait langsung dengan kepentingan dan kebaikan bersama.
Mereka yang menunggangi fenomena post-truth untuk membodohi banyak komunitas itu biasanya tak pernah jauh dari masyarakat. Bahkan mereka umumnya menjadi bagian tak terpisah dari masyarakat itu sendiri. Sebab, masyarakat di sekitarnyalah yang memang menjadi target kebohongan dan perilaku manipulatif mereka. Ada yang menyandang status sebagai figur terpandang atau kaum elit. Ada Pebisnis hingga oknum politisi. Mereka punya rekam jejak tak terpuji. Umumnya haus kuasa dan koruptif.
Haus kuasa dan perilaku koruptif itulah yang ingin mereka tutup-tutupi dengan membangun narasi sesat, hoaks hingga disinformasi untuk kemudian disemburkan ke ruang pubik. Dengan menyemburkan narasi sesat dan hoax, mereka ingin membantah, mementahkan atau mengaburkan ragam fakta dan data yang telah nyata-nyata menggambarkan mereka sebagai sosok-sosok dengan perilaku serta rekam jejak tak terpuji. Mengerahkan orang-orang bayaran untuk membantah dan berdebat sekadar menarasikan pembelaan bagi mereka.
Mereka melakukan semua itu dengan penuh kesadaran, bahkan juga direncanakan, karena berasumsi bahwa banyak komunitas di dalam masyarakat masih bodoh dan bisa dibohongi. Dengan menyemburkan narasi sesat atau hoax ke ruang publik secara masif dan berkelanjutan, mereka sedang berusaha dan berharap bisa membuat rapuh atau merusak kualitas kewarasan banyak komunitas.
Hari- hari ini, sebagaimana bisa disimak bersama di ruang publik, jebakan pembodohan itu terus saja berlangsung. Bahkan cenderung tak terkendalikan sehingga sudah menghadirkan ekses nyata yang telah dialami begitu banyak orang, termasuk negara dan pemerintah. Ada upaya mengeliminasi ragam tindak pidana, termasuk korupsi, dengan rentetan kebohongan dan narasi yang menyesatkan.
Selain itu, ruang publik juga begitu sering dijejali dengan retorika politik bernuanasa kebohongan, serta janji-janji tidak realistis, termasuk membohongi pemimpin dengan materi laporan ‘yang penting’ asal bapak senang (ABS). Bahkan di tengah bencana Sumatera yang menghadirkan ragam fakta, upaya menggemakan kebohongan dan narasi yang coba menyesatkan pemahaman masyarakat tentang sebab musabab bencana ekologis itu terus saja dilakukan.
Durasi era post-truth akan berkepanjangan, namun jebakan pembodohan di sepanjang era ini tak boleh dibiarkan atau dianggap sebagai fenomena biasa yang boleh disederhanakan. Jebakan pembodohan yang menargetkan pengrusakan kewarasan bersama melalui penyebarluasan hoax, disinformasi dan misinformasi harus dilihat dan dipahami sebagai kejahatan, dan karena itu tidak boleh dibiarkan. Sebab, aspek yang pada akhirnya terancam dari rekayasa pembodohan dan upaya berkelanjutan merusak kewarasan banyak komunitas adalah peradaban.
Perkembangan teknologi memang signifikan memengaruhi perilaku kehidupan setiap individu dan komunitas. Namun, perkembangan teknologi itu sekali-kaii tidak boleh dimanfaatkan untuk mereduksi atau merapuhkan kewarasan bersama. Sebaliknya, kemajuan teknologi yang telah memberi manfaat bagi kehidupan idealnya mendorong setiap individu dan komunitas untuk semakin cerdas dan bijaksana, utamanya saat melihat dan memahami fakta tentang benar atau salah.
Di tengah hiruk-pikuk demokrasi Indonesia yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat, negara dan pemerintah hendaknya tidak mengabaikan kewajibannya melindungi kewarasan publik dan akal sehat bersama. Kewajiban yang satu ini perlu digarisbawahi lagi karena kebebasan berbicara dan berpendapat pada era post-truth ini begitu sering dimanfaatkan untuk merekayasa jebakan untuk membodohi banyak orang, serta upaya merusak kewarasan bersama.
Demi masa depan peradaban generasi anak-cucu, negara-bangsa yang telah dan akan terus diperkuat dengan peraturan perundang-undangan hendaknya semakin bijaksana dan lebih sistematis dalam memerangi penyebarluasan hoax, misinformasi dan disinformasi, semata-mata untuk melindungi kewarasan bersama.








