Mengapa Harus Supremasi Sipil

Budaya26 views

 

Oleh Arvindo Noviar

Sejarah bangsa ini terlalu banyak menampilkan rakyat sebagai barisan yang dikutip namanya tetapi jarang diundang ke ruang pengambilan keputusan. Dari revolusi yang digerakkan oleh kaum tani dan pemuda hingga pembangunan nasional yang diceritakan atas nama rakyat, selalu ada pola bahwa rakyat menjadi simbol legitimasi namun bukan subjek yang menentukan arah. Pertanyaan yang perlu kita ajukan sekarang bukan lagi apakah rakyat penting, tetapi bagaimana rakyat benar-benar memimpin jalannya negara.

Istilah rakyat sendiri bukan sekadar kumpulan orang banyak. Dalam bahasa politik, rakyat menunjuk pada mereka yang berada di bawah struktur kekuasaan namun juga menjadi pemilik sah atas kedaulatan. Dalam bahasa lain ada istilah people, volk, atau laos, tetapi semuanya menunjuk pada makna yang sama: rakyat adalah asal dari segala legitimasi politik. Di Indonesia, rakyat adalah mereka yang dipanggil oleh UUD 1945 sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Maka berbicara rakyat berarti berbicara tentang sumber dan tujuan dari segala kekuasaan.

Demokrasi, jika dirunut pada akar katanya, berasal dari Yunani: demos berarti rakyat dan kratos berarti kekuasaan. Demokrasi bukan sekadar mekanisme pemilu lima tahunan, melainkan gagasan bahwa kekuasaan sejati harus berada di tangan rakyat. Ketika demokrasi direduksi hanya menjadi prosedur memilih elit, substansinya hilang. Demokrasi yang sehat menuntut rakyat bukan sekadar memilih, melainkan mengatur, mengawasi, dan memimpin arah kebijakan.

Di sinilah prinsip supremasi sipil menjadi tak terelakkan. Supremasi sipil berarti bahwa kekuasaan sipil, yang berakar dari kedaulatan rakyat, harus mengatur seluruh instrumen negara, termasuk militer. Di negara-negara yang gagal menjaga supremasi sipil, kita melihat demokrasi runtuh menjadi otoritarianisme dengan wajah militer. Sebaliknya, di negara-negara yang kuat menjaga supremasi sipil, rakyat dapat menentukan arah pertahanan dan keamanan tanpa takut ditundukkan oleh senjata.

Indonesia memiliki sejarah yang khas. Doktrin pertahanan kita bukan sekadar tiruan Barat, tetapi lahir dari pengalaman nyata melawan kolonialisme. Pertahanan Rakyat Semesta, atau Hankamrata, dibangun atas kesadaran bahwa rakyatlah yang menjadi benteng utama bangsa. Pada 1945, tentara profesional hampir tidak ada; yang ada adalah laskar rakyat, pemuda, petani, dan buruh yang mengangkat senjata demi kemerdekaan. Dari situlah lahir doktrin bahwa pertahanan bangsa harus bersandar pada rakyat seluruhnya, bukan pada segelintir pasukan.

Pertahanan rakyat semesta bukanlah konsep militerisme. Ia justru menempatkan rakyat sebagai pusat pertahanan, sementara militer menjalankan fungsi profesionalnya dalam perang konvensional. Rakyat menjadi subjek yang berdaya, membangun ketahanan sosial, ekonomi, dan budaya, sehingga pertahanan bangsa tidak hanya diukur dari jumlah senjata, tetapi dari kesadaran kolektif yang hidup dalam masyarakat.

Mengapa hari ini kita harus kembali menegaskan pertahanan rakyat? Karena ancaman terhadap bangsa tidak hanya berupa invasi militer, tetapi juga krisis pangan, kerusakan lingkungan, serangan digital, dan ketimpangan ekonomi. Semua itu hanya bisa dihadapi jika rakyat terorganisir dan sadar akan perannya sebagai penjaga kedaulatan. Pertahanan rakyat memberi daya tahan sosial yang tak bisa digantikan oleh kekuatan militer belaka.

Dalam konteks inilah PRABU, Pertahanan Rakyat Bersatu, menemukan perannya. Ia hadir tidak untuk berhadapan dengan tentara, melainkan untuk mengisi ruang sipil yang selama ini terabaikan. TNI tetap profesional menjaga batas negara dan ancaman militer, sementara PRABU mengorganisir rakyat untuk memperkuat ketahanan pangan, solidaritas sosial, dan kesadaran politik. Relasi ini bukan diametral, melainkan saling menopang, dengan garis batas yang tegas: supremasi sipil adalah payungnya.

Supremasi sipil memastikan bahwa keterlibatan rakyat dalam pertahanan tidak berubah menjadi dominasi militer atas rakyat. Ia menjadi pagar agar demokrasi tetap hidup, agar rakyat memimpin tentara, bukan tentara yang memimpin rakyat. Inilah perbedaan mendasar: pertahanan rakyat tanpa supremasi sipil akan tergelincir menjadi militerisme, sementara supremasi sipil tanpa militer hanya melahirkan demokrasi prosedural yang rapuh. Keduanya harus menyatu.

Dimensi filosofis memperkuat argumen ini. Rousseau berbicara tentang volonté générale, yaitu kehendak umum rakyat sebagai dasar hukum yang sah. Hannah Arendt menegaskan politik sebagai ruang publik, bukan ruang kekerasan. Gramsci mengingatkan bahwa hegemoni sipil lebih kokoh daripada dominasi militer. Semua ini berujung pada satu kesimpulan: demokrasi sejati hanya hidup bila rakyat berdaulat penuh, dan kedaulatan itu diwujudkan dalam supremasi sipil yang konkret.

Hari ini, bayangan masa lalu masih mengintai. Demokrasi kita masih rapuh, partisipasi rakyat sering dipinggirkan, dan logika keamanan kerap lebih kuat daripada logika kesejahteraan. Justru dalam kondisi inilah supremasi sipil menjadi jawaban. Supremasi sipil menjadi kebutuhan historis dan moral untuk memastikan rakyat menjadi pemegang kedaulatan yang sesungguhnya.

Supremasi sipil adalah fondasi demokrasi. Pertahanan rakyat adalah isinya. Keduanya saling menguatkan, saling menopang, saling mengisi. Dengan supremasi sipil, rakyat tetap menjadi pusat, bukan alat. Dengan pertahanan rakyat, demokrasi menjadi nyata dalam kehidupan sehari-hari. Inilah jalan bagi bangsa ini untuk berdiri tegak di antara bangsa lain, dengan rakyat sebagai kekuatan sejati.

Maka seruan kita jelas: mari tegakkan supremasi sipil sebagai tiang utama demokrasi Indonesia, dan mari bangun pertahanan rakyat sebagai sistem yang memperkuat bangsa. Supremasi sipil memberi arah, pertahanan rakyat memberi perlindungan bagi segenap rakyat. Bersama keduanya, rakyat bukan lagi sekadar penonton, tetapi menjadi pelaku utama dalam panggung sejarah. Inilah saatnya rakyat bersatu, menegakkan kedaulatannya, dan memastikan Indonesia tetap berdiri dengan martabat dan kekuatan sendiri.

PRABU!
“Rakyat Bersatu, Negara Berdaulat.”

PRABU!
“Tanpa Seragam, Kita Beragam.”

PRABU!
BERSATU! BERSATU! BERSATU!

News Feed