Mimpi Sesat Berburu Pemimpin “Kuat”

Opini11,746 views

Oleh: J. Kristiadi *)

JAKARTA — Gagasan kocak penundaan Pemilu 2024 menuai  kritik pedas dan tingkat resisitensi tinggi dari masyarakat sipil, akademisi, tokoh masyarakat dan beberapa Papol. Bahkan Presiden Jokowi Widodo, sejak awal (2019) berkali-kali menolak keras agenda tesebut. Ia sengaja mengartikulasikan penolakannya secara lugas  karena  ingin meyakinkan publik, ia taat dan patuh  konstitusi serta menjaga  martabat dan marwah nilai-nilai demokrasi.  Menunda pemilu 2024 akan menjadi pintu masuk otorianisme yang mengakibatkan bangsa dan negara porak peranda.   Sayangnya,  masih cukup banyak petinggi negara dan politisi mempercantik logika pembenaran proposisi sesat yang dapat mengakibatkan demokrasi  semakin ringkih. Sehingga publik meragukan ketegasan penolakan Presiden.

Hikmahnya, di balik usul asal-asalan tersebut, menyingkapkan fenomena bawah sadar para pejabat, elit politik  dan masyarakat masih mendambakan orang “kuat” mengemudikan kuasa daulat rakyat.  Delusi semacam itu sesekali  muncul dalam kompetisi politik dengan membangkitkan kedigdayaan palsu  Orde Baru,  yang notabene,  tidak hanya memonopoli kekuasaan tetapi juga mendominasi kebenaran.

Pada hal sejarah membuktikan banyak negara yang mengidamkan dan mengagumi pemimpin Super Hero  gagal mengelola pemerintahan yang demokratis. Penyebabnya, rakyat mudah tersihir  sosok  berperilaku dan berpenampilan gagah, cerdik   berakrobat kata-kata, mengumbar retorika serta bertingkah  laiknya seorang pahlawan. Makhluk  jenis ini  tidak akan pernah kompeten  mengelola kerumitan politik, terlebih bila disertai  kobaran ambisi kekuasaan.  Pemimpin yang hanya mempunyai logika komando, jalan pintas disertai kekerasan bila kebijakannya di kritik rakyat.

Lazimnya, sindrom tersebut muncul bilamana masyarakat gelisah menghadapi masalah pelik dan mendesak sehingga perlu segera diselesaikan. Impian semakin indah bila publik merasa tidak berdaya dan ditelan ketatakutan tak berujung sehingga memerlukan pelindung.   Pada titik ini  publik berfantasi  mempunyai pemimpin laiknya  Rambo, jagoan imajiner maha super   yang dapat menyelesaikan semua persoalan.

Mengingat medan politik adalah ranah benturan  kepentingan yang  spektrumnya mulai dari aspirasi mulia sampai niat durhaka,  arsisitektur kekuasaan negara  demokratis tidak membutuhkah Super Hero, melainkan figur yang tekun, sabar, telaten serta mampu mengontrol eksekusi kebijakan agar benar-benar dilaksanakan.  Perangkat kompetensi yang diperlukan mengelola dan mengatasi permasalah yang ruwet, tingkat kompleksitas tingggi serta dilematis.

Nyala redup reformasi.

Awalnya adalah harapan membuncah karena  keberhasilan masyarakat sipil menumbangkan rejim Orde Baru.  Harganya   sangat mahal.  Tragedi bernuansa kebencian rasial yang mengancam kebangrutan peradaban bangsa. Jumlah korban meninggal dan luka  diperkirakan ratusan hingga ribuan orang. Tragisnya, pengorbanan mereka tetap menjadi misteri abadi.

Seiring perjalanan waktu, reformasi yang tidak disertai ruh dan  konsep mendalam tentang arsitektur  kekuasaan yang demokratis, mengakibatkan  proses tanformasi politik tergagap-gagap. Elan reformasi meredup diterpa badai  politik uang dan dinasti politik.  Konsekuensinya,  terjadi kekosongan kelembagaan yang kompeten menampung dan mengelola berbagai kepentingan dan aspirasi masyarakat. Negara tidak dikendalikan oleh institusi tetapi dikontrol  para bandar dan makelar politik, yang di duga mempunyai dana siluman tidak terbatas jumlahnya. Demokrasi tanpa  tuntunan   cita-cita di jamin ruang publik akan  gaduh, pengap dengan ilusi,  delusi serta pasangka buruk yang berlebihan terhadap orang lain.

Reformasi hanya menjadi logo maya memproduksi agen-agen olikark sehingga demokratisasi mengalami kejumudan dan semakin lama semakin rapuh; yang teringgal hanya romantika demokrasi. Kelompok masyarakat tercerai berai   mencari kanal dan caranya sendiri menyalurkantimbunan harapan mereka, potensi  demokrasi terjebak anarki.

Apesnya, romantika memicu rangsangan sensasi berdaya pikat memukau. Setiap orang membayangkan demokrasi sesuai dengan selera dan imajinasinya. Tidak mengherankan  demokrasi dipeluk dan di cumbu banyak negara. Namun memeluk  dewi demokrasi  ongkos dan syaratnya sangat  mahal, terutama kemampuan para elit politik menyuburkan kesetaraan, tingkat empati yang tinggi,  kerja ekstra keras, tekun,  cermat serta  penuh dedikasi mewujudkan kebahagiaan bersama.

Polemik penundaan Pemilu memberikan pelajaran, mimpi sesat pemimpin “kuat” masih bersemayam di bawah sadar di berbagai kalangan. Upaya membangun arsitektur  dan struktur  kekuasaan yang beradab adalah agenda mendesak. Bila para elit politik dan masyarakat sipil  bekerja sama  dan  menghasilkan  kerangka  utuh sistim politik Indonesia kedepan, takdirpun akan  tersenyum.

*) Pengamat politik senior CSIS

(otonominews)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed