Negara Melawan Serakahnomics (Upaya Kerusuhan Berulang yang Gagal)

Nasional30 views

 

Oleh Arvindo Noviar

Di depan gedung parlemen, suara manusia menekan seperti gelombang laut yang mencari celah beton. Mahasiswa yang berdiri di barisan depan memegang spanduk yang mulai lembek karena menyerap keringat dan udara sore yang pekat. Polisi menjaga garis sempit antara massa dan barikade, dua meter yang berubah setiap kali dorongan dari belakang menekan barisan. Di sela jarak itu suara saling bertabrakan, orasi mahasiswa bercampur instruksi petugas, banyak kalimat berhenti di tengah sebelum mencapai telinga lawan bicaranya. Wajah wajah yang berkumpul di sana diolesi odol, tidak hanya demonstran tetapi juga sebagian aparat, garis putih di bawah mata mengering oleh panas dan bau mentol bercampur peluh, mata mereka berair, seakan tubuh tahu sesuatu sebelum pikiran menjangkaunya.

Dalam kepadatan yang tidak lagi bisa diukur, pergeseran kecil berubah menjadi dorongan besar. Ada barisan yang bergeser setengah langkah, lalu barisan lain menyusul, dan dalam hitungan detik arah massa tidak lagi bisa dibaca siapa pun. Di penjompongan kendaraan taktis yang hendak keluar dari kepungan mencoba maju mencari jalan. Orang orang berlari bersamaan mencari ruang aman di depan, samping, atau ke belakang. Seorang pengemudi ojek terseret gerak itu, kehilangan pijakan, dan tubuhnya jatuh ke aspal sebelum kendaraan berhenti. Rekaman memperlihatkan roda baja bergerak lurus karena jalan di belakang dan samping sudah sepenuhnya ditutupi himpitan manusia. Teriakan yang terdengar tidak lagi memuat daftar tuntutan, hanya pecahan suara manusia yang menyadari tubuh di depan mereka tidak bangun lagi.

Setelah tubuh itu tidak bangun lagi, arus massa berbelok menuju Kwitang. Pagar markas Brimob bergetar oleh tubuh yang berdesak, pintu kaca retak tanpa aba aba, dan panel resepsionis patah seperti benda yang terlalu lama menerima beban. Di sepanjang Sudirman percikan petasan dan botol berisi api melintas dalam garis yang tidak selalu jelas tujuan, lalu halte halte Transjakarta menyala dari depan Polda Metro Jaya hingga Bundaran Senayan dan Gerbang Pemuda, kursi tunggu berubah arang dan papan nama kehilangan warnanya. Di Jakarta Timur amarah bergerak lebih dalam, kantor Polres diterjang lemparan bermuatan api hingga pagar dijebol, kendaraan Dalmas terbakar di pelatarannya, dan lima polsek di Matraman, Jatinegara, Ciracas, Makasar serta Cipayung hangus seperti titik yang saling memanggil. Semua itu berlangsung bertahap dari pusat kota menuju pinggiran, mengikuti lintasan yang terasa sudah tersedia sebelum siapa pun berniat berjalan di atasnya.

Di Surabaya massa memasuki halaman Gedung Negara Grahadi. Sepeda motor yang diam terbakar lebih dulu lalu nyala api merayap ke dinding bangunan seperti menarik napas sebelum membesar. Di Makassar halaman DPRD menyala ketika kendaraan yang terparkir dilalap panas, api berpindah ke bangunan yang berdiri di belakangnya seolah jalurnya telah ditanam sebelum siapa pun tiba. Yogyakarta dan Bandung terbakar dalam jejak serupa, fasilitas publik dan kantor pemerintahan tersentuh pola yang sama. Tidak ada manifesto yang dibacakan di tengah asap, tidak ada daftar tuntutan yang disusun sebelum massa bergerak. Hanya pola yang menetapkan institusi negara sebagai sasaran, muncul di banyak kota dalam malam yang saling berdekatan.

Ketika kota kembali tenang di jalan utama, serangan bergeser ke pintu-pintu yang biasanya tertutup rapat dari urusan publik. Di Tanjung Priok halaman seorang anggota dewan tampak seperti panggung yang sudah lama menunggu pemainnya. Suara orang mendahului langkah, saling beradu dengan pagar yang bergetar sebelum benar-benar roboh. Ada yang menarik daun gerbang dari samping, ada yang mengangkatnya seperti benda yang tak perlu dikembalikan ke tempat semula. Garasi menerima gelombang pertama, sentuhan yang tidak ragu pada kaca dan bodi mobil, seperti air yang jatuh pada permukaan yang sudah retak. Di ruang keluarga tidak ada jeda; lemari dibuka, benda-benda dikeluarkan, sebagian ditumpuk, sebagian diambil begitu saja. Tas, pakaian, layar televisi, patung superhero di sudut ruangan, semua kehilangan perannya satu per satu. Rumah yang semula menjadi citra tentang keberhasilan berubah pelan menjadi ruangan yang dipakai banyak tangan untuk menuntaskan kebutuhan yang tidak pernah dibicarakan.

Di Bintaro rumah seorang menteri keuangan menerima orang dengan cara yang lebih senyap. Gerbang bergeser sedikit sebelum halaman terisi, taman dilewati dengan langkah yang menghindari batu hias, dan pintu ruang tamu menganga seperti menyadari waktunya telah tiba. Mereka masuk tanpa saling berseru; lemari dapur terbuka, rak buku menjadi kosong, dan sofa bergeser mundur beberapa inci, meninggalkan garis tipis pada lantai marmer. Kamera di teras merekam punggung yang keluar masuk, seperti musim yang lewat tanpa menyebut namanya. Dari jendela tetangga terlihat arus yang panjang, tubuh-tubuh bekerja dalam arus yang sama, menyelesaikan ruang demi ruang tanpa tergesa. Ketika subuh menyentuh pagar, halaman depan telah dipenuhi jejak sepatu yang berhenti di banyak titik, tidak ada tanda siapa yang datang lebih dulu, tidak ada petunjuk siapa yang memutuskan kapan semuanya harus selesai.

Semua peristiwa itu tampak terpisah seperti batu yang runtuh dari tebing pada hari yang berbeda, jatuh tanpa suara sampai menyentuh tanah. Negara menunggu saat debu berhenti bergerak lalu melihat kembali urutannya. Dari jalan besar menuju markas polisi, dari kantor negara menuju rumah pribadi, garisnya memanjang tanpa tikungan, seolah seseorang sudah menandai koordinat sebelum massa mengambil langkah pertama. Di balik pola yang tenang itu, muncul satu jenis hasrat yang tidak mengenal henti, dorongan untuk mengambil sebelum orang lain sempat menyadari apa yang hilang. Serakahnomics bekerja seperti air asin yang meresap ke batu karang, lambat, nyaris tak terlihat, tetapi terus menggerogoti dari dalam. Ia tidak memerlukan teori, hanya kesempatan; tidak memerlukan ideologi, hanya ruang yang belum dijaga. Negara mengenali keberadaannya dari cara ia bertindak. Tanpa wajah, tanpa suara, meninggalkan jejak yang selalu menuju pada pusat yang sama: keuntungan pribadi yang berdiri di atas kelemahan publik.

Di meja negara angka timah hadir sebagai catatan kehilangan. Dari gugusan pulau di timur Sumatra mineral itu menyelinap keluar malam hari melalui jalur yang tidak tercatat menyusuri dermaga yang tidak pernah masuk dalam dokumen pemerintah. Kapal keruk bergerak tanpa suara seolah menimba air lalu mengangkat pasir yang mengandung nilai sebesar kota. Truk menghilang dari radar karena peta yang dipakai tidak pernah berada di meja negara. Setiap bongkah yang berpindah tangan menyusutkan kemampuan negara membangun jalan sekolah dan klinik. Jejaknya tidak ditemukan pada poster slogan atau arus massa. Ia berdiam dalam tempurung transaksi yang rapi di ruangan yang lampunya selalu kuning.

Di barat laut dan tengah pulau sawit menyebar seperti tanaman liar yang tumbuh lebih cepat daripada pagar desa. Kebun yang tidak tercatat meluas dari titik kecil menjadi hamparan yang menyamai kota lalu menyentuh batas yang dulu dianggap hutan milik leluhur. Sungai yang dulu menjadi tempat anak-anak bermain berubah warna karena ampas pengolahan, jalan desa retak karena truk, dan peta tanah yang diwariskan turun-temurun kehilangan garisnya. Setiap tandan buah segar yang berpindah tanpa dokumen membawa sebagian nilai ekonomi rakyat pelan dan pasti seperti akar yang menyerap air dari tanah sebelum pemiliknya sadar. Dokumen berjalan lebih cepat daripada musim hujan, dan ketika kembali, batas desa sudah melewati rumah penduduk.

Di timur kota dan barat pelabuhan, bahan bakar dipindahkan seperti air yang dinaikkan dari bejana rendah ke bejana tinggi. Pertalite ditarik dari tangki kecil, dicampur larutan pengangkat oktan dalam drum tertutup, lalu keluar kembali sebagai Pertamax yang tercatat resmi. Meteran tetap menunjukkan angka biasa, nozzle meneteskan bensin dengan aliran yang sama, dan pelanggan mengisi kendaraan seperti hari kemarin. Selisih itu berdiam di setiap liter, berkembang pada skala truk, dan menetap dalam laporan akhir bulan yang tidak pernah sampai ke meja negara. Stok berpindah lewat pesan pendek, gudang menerima kiriman yang tak tercatat, dan uang bergerak lebih cepat daripada inspeksi yang baru dijadwalkan tahun depan.

Di ruang pendaftaran perjalanan haji dan umroh, giliran mengikuti nilai yang menempel pada berkas. Kuota berpindah dari nama yang menunggu bertahun-tahun menuju nama yang baru hadir. Berkas perjalanan disusun seperti daftar logistik: kamar, jadwal keberangkatan, pilihan fasilitas, semua selesai sebelum pertanyaan diajukan. Di meja loket tidak ada kegaduhan, hanya antrean yang bergeser perlahan, orang yang datang dengan tabungan lama berdiri di belakang orang yang membawa nominal yang baru dikirim. Di luar gedung tidak ada spanduk atau orasi, hanya keluarga yang pulang dengan kertas nomor yang tidak menjelaskan sebab, dan kalender yang mundur setahun seperti pergantian musim yang terjadi tanpa nama.

Di ruang pengadilan mafia hukum bekerja seperti jam tangan yang dirawat dengan setetes minyak. Mereka menunggu di balik map perkara, membaca pasal seperti nelayan membaca arus laut, memilih titik perlambatan tanpa perlu menunjuk siapa yang harus menahan perahu. Satu kalimat dalam dakwaan dapat dipindahkan ke catatan kaki, satu ayat di undang undang dapat ditarik ke minggu depan, dan perkara yang semula mendesak berubah masuk antrian panjang. Lalu saat seorang aparat tertangkap, publik melihat bertumpuk uang di atas meja, seolah itulah sumber penyakitnya, padahal uang hanya serpih yang tercecer dari jalur yang lebih panjang. Jalur itu dijaga oleh struktur yang mengatur pintu masuk dan ruang tunggu, menentukan siapa yang duduk di kursi saksi dan siapa yang tetap berada di kapal pesiar.

Hari ini negara tidak membalas dengan suara. Para menteri duduk di ruang rapat yang lampunya selalu putih, kertas agenda ditumpuk rata, dan garis spidol menghubungkan titik seperti peta irigasi. Di meja itu, satu nama bergeser dari daftar proyek ke kolom pemeriksaan, satu izin yang semula tercatat aktif dipindahkan ke baris menunggu, tanpa kamera menunggu di luar pintu. Poros eksekutif dan poros legislatif berbicara seperti dua petugas bendungan yang menandai aliran air, menunjuk poros yang harus dipadatkan agar tidak merembes. Dari pertemuan ke pertemuan, jalur administrasi yang dulu longgar menjadi rapat, lampu ruang arsip menyala lebih lama, dan catatan lama mulai disandingkan dengan catatan baru. Tidak ada pesta yang mengiringi perubahan itu, hanya meja yang semakin penuh dan lorong kantor yang semakin terang, sampai mereka yang biasa berjalan melalui celah tidak lagi bisa menemukan jalur.

Di balik layar ponsel draft RUU KUHAP palsu kehilangan pengikutnya. Video yang dulu berputar cepat di grup keluarga kini hanya diputar beberapa detik sebelum ditutup, gambar yang pernah diedit ulang tidak lagi diteruskan, hanya ditinggalkan dalam riwayat tontonan. Mereka yang pernah menyebarkannya menunggu pemberitahuan resmi karena telah melihat bagaimana satu cuplikan suara mampu memindahkan amarah dari jalan besar ke ruang pribadi. Grup percakapan menjadi lebih tenang, tautan berhenti muncul sebelum subuh, dan layar-layar yang dulu penuh teriakan berubah menjadi jeda panjang antara pesan yang dibaca dan balasan yang tidak dikirim. Hoaks tetap berada di jaringan, tetapi sinyalnya melemah, berputar di lingkaran yang sama seperti pesan yang dikirim terlalu malam lalu tidak ada yang menjawab.

Di atas semua meja itu ada pertemuan yang berlangsung seperti jam yang tidak pernah mati. Presiden dan Wakil Ketua DPR duduk saling berhadapan, menyusun hari sebagaimana pelaut menandai garis lintang pada peta, tanpa kembang api, hanya tanda yang pindah dari satu titik ke titik lain. Setiap sesi memindahkan satu jalur rente ke daftar penindakan, satu pintu lobi ke daftar pembatasan, satu celah kebijakan ke catatan yang dipadatkan. Kementerian mengirim laporan sebelum diminta, badan intelijen menyatukan peta yang tersebar, dan para perancang undang-undang menambahkan temuan dari lapangan yang tersebar di seluruh penjuru. Dari perjumpaan yang berulang itu perangkat negara berhenti berjalan sebagai pulau-pulau terpisah, mendekat seperti gugus batu yang menahan gelombang. Di hadapan permukaan serapat itu serakahnomics kehilangan jalurnya, para penunggang badai tidak menemukan sudut untuk menaruh sumbu, dan pola yang pernah menjerumuskan kota hanya berputar di tepi, kehabisan pusat untuk memantik api.

News Feed