Ora Urusan Cuk Dalam Pilkada*

Opini88 views

 

Penulis : Pram’S

Di Kota AB, ada satu perasaan yang lama mengendap di dada para kader partai dua tanduk: rindu untuk menang. Bukan sekadar menang kursi, tapi menang sejarah. Menang yang bisa diceritakan ulang kepada anak-anak mereka kelak, bahwa partai ini pernah benar-benar dipercaya rakyat untuk memimpin kota.
Nama kerinduan itu adalah Spog.
Spog bukan tokoh sempurna. Ia bukan orator flamboyan, bukan pula hasil laboratorium elite partai. Tapi Spog adalah wajah yang dikenal pasar, suara yang akrab di kampung, dan langkah yang tak canggung menyusuri gang-gang sempit Kota AB. Ia tumbuh dari bawah—dan kader akar rumput tahu betul, ini kesempatan yang tidak boleh gagal.
Masalahnya satu: ketua partai dua tanduk di kota itu, Cuk.
Cuk dikenal licin, penuh hitung-hitungan pribadi. Banyak kader tak menyukainya. Sebagian muak, sebagian apatis, sebagian lain sudah lama berhenti berharap pada kepemimpinannya. Tapi Pilkada kali ini berbeda. Kerinduan untuk menang terlalu besar untuk dikorbankan demi urusan suka atau tidak suka.
Maka lahirlah semboyan itu, beredar dari warung kopi ke pos ronda, dari grup pesan kader hingga rapat kecil di rumah simpatisan:
“Ora Urusan Cuk.”
Bukan urusan Cuk. Ini urusan rakyat. Ini urusan sejarah.
Mesin partai bergerak bukan karena perintah, tapi karena kesadaran kolektif. Spanduk dicetak swadaya, logistik diantar dengan motor pribadi, dan waktu tidur dikorbankan tanpa proposal, tanpa kuitansi. Kader yang selama ini diam, tiba-tiba hidup. Yang lama kecewa, kembali turun ke jalan.
Dan keajaiban politik itu terjadi.
Spog menang.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah Kota AB, partai dua tanduk mencatatkan namanya sebagai partai pengusung walikota terpilih. Tangis pecah di posko sederhana. Pelukan terjadi tanpa sekat faksi. Malam itu, kader merasa: ini kemenangan kita, bukan kemenangan elite.
Tapi politik tak pernah berhenti di euforia.
Beberapa bulan kemudian, agenda besar digelar: pemilihan ketua partai dua tanduk tingkat kota. Aula dipenuhi baliho kemenangan Pilkada. Foto Spog tersenyum lebar, berdampingan dengan foto Cuk—yang entah sejak kapan muncul sebagai figur sentral di setiap narasi kemenangan.
Dalam pidatonya, Cuk berbicara lantang.
Tentang kepemimpinan. Tentang konsolidasi. Tentang “keberhasilan strategi partai.”
Kemenangan Spog dikemas rapi, dipoles, lalu dikapitalisasi sebagai legitimasi kepemimpinan Cuk. Ia tak menyebut kerja sunyi kader. Tak menyinggung semboyan Ora Urusan Cuk. Yang ada hanyalah narasi tunggal: tanpa kepemimpinan saya, kemenangan ini tak mungkin terjadi.
Pengurus partai tingkat pusat di Kota B datang dengan senyum puas. Statistik kemenangan dipresentasikan. Grafik naik, angka mengilap. Mereka mengangguk—cukup untuk satu kesimpulan:
Cuk layak lanjut lima tahun lagi.
Tepuk tangan terdengar. Keputusan diketok.
Di sudut ruangan, Cuk tersenyum tipis. Dalam hatinya ia berkata, dingin dan jujur:
Gue menang lagi.
Gue bodohin lagi lu ke depannya.
Apes bener partai dua tanduk di Kota AB.
Di luar gedung, beberapa kader lama berdiri diam. Mereka ingat bagaimana kemenangan itu lahir—bukan dari Cuk, tapi dari keberanian untuk mengabaikannya. Namun sejarah sudah ditulis ulang, dan kebenaran akar rumput kembali kalah oleh kuasa elite.
Spog memimpin kota.
Cuk memimpin partai.
Dan kader kembali belajar satu pelajaran lama:
*Dalam politik, yang berjuang belum tentu yang berkuasa.*

News Feed