PEMASANGAN SPANDUK POSKO BENCANA SUMBAR & POSKO BERSAMA PEMBENTUKAN PROVINSI DIM: GERAK NYATA DI TENGAH KELENGANGAN PEMIMPIN*

Daerah38 views

l

Dalam situasi bencana besar yang tengah melanda Sumatera Barat, masyarakat kembali menunjukkan bahwa solidaritas dan aksi nyata jauh lebih cepat bergerak dibandingkan urusan birokrasi dan formalitas pejabat. Di tengah lumpur, banjir, longsor, dan gelapnya malam yang dipenuhi kecemasan, dua spanduk muncul sebagai simbol gerakan rakyat: Spanduk Posko Bencana Sumbar dan Spanduk Posko Bersama Pembentukan Provinsi DIM.
Keduanya berdiri bukan sebagai dekorasi, tetapi sebagai bukti bahwa masyarakat tidak tinggal diam ketika pemimpinnya justru tampak jauh dari lokasi bencana.

Pemasangan Spanduk Posko Bencana Sumbar bertujuan menjadi titik kumpul, pusat koordinasi, dan arah bagi siapa saja yang ingin membantu. Di saat banyak warga kehilangan tempat tinggal, terpisah dari keluarga, atau kesulitan mendapatkan air bersih dan makanan, posko semacam ini menjadi garis depan harapan. Tanpa posko, alur bantuan berpotensi tersendat dan tidak menyentuh mereka yang paling membutuhkan.
Masyarakat bergerak cepat karena mereka tahu: setiap menit menunda berarti menambah derita para korban.

Sementara itu, muncul pula Spanduk Posko Bersama Pembentukan Provinsi DIM, sebuah gerakan yang selama ini mungkin dianggap senyap tetapi ternyata memiliki denyut kuat di tengah masyarakat. Banyak yang mempertanyakan, mengapa spanduk pembentukan provinsi baru muncul di tengah bencana? Jawabannya sederhana: ketika krisis melanda, kelemahan struktur pemerintahan terlihat dengan jelas. Keterlambatan evakuasi, minimnya kehadiran pejabat di lapangan, hingga lambannya distribusi bantuan memicu perenungan mendalam bahwa Sumatera Barat membutuhkan tata kelola yang lebih efektif, lebih dekat dengan rakyat, dan lebih responsif.
Gerakan ini bukan sekadar wacana pemekaran wilayah, tetapi tuntutan masyarakat untuk perubahan yang konkret.

Kedua spanduk tersebut menjadi “suara keras” yang tak bisa diabaikan.
Di satu sisi, ada masyarakat yang membantu sesama tanpa pamrih.
Di sisi lain, ada rakyat yang menuntut struktur pemerintahan yang lebih berpihak kepada mereka.
Dan ketika keduanya muncul bersamaan, pesan yang tersampaikan menjadi jauh lebih lantang: “Kami bergerak ketika kalian diam.”

Di berbagai titik bencana, para relawan bekerja tanpa menunggu perintah. Anak-anak muda, ibu-ibu, komunitas lokal, organisasi kemasyarakatan, hingga para perantau yang pulang kampung bergotong royong mendirikan posko. Ada yang membawa makanan, ada yang membawa pakaian, ada yang datang dengan alat-alat seadanya untuk membersihkan material longsor. Semangat seperti ini tidak bisa dibeli dan tidak bisa dibuat-buat.
Ini adalah refleksi dari kultur Minangkabau: jika rumah tetangga terbakar, seluruh kampung ikut memikul beban.

Namun, di balik semua itu, tidak sedikit warga yang menyindir ketidakhadiran sebagian pejabat publik. Banyak yang mempertanyakan di mana para wakil rakyat ketika bencana terjadi? Mengapa masyarakat lebih dulu turun bergerak ketimbang orang-orang yang memiliki jabatan dan anggaran besar? Kritik seperti ini bukan tanpa dasar. Foto-foto dari lokasi bencana memperlihatkan warga berjuang seorang diri, sementara sebagian pejabat tampak lebih sibuk menghadiri agenda formal ketimbang memastikan keselamatan warganya.

Pemasangan spanduk Posko Bersama Pembentukan Provinsi DIM menjadi penegas rasa kecewa tersebut. Gerakan ini seolah berkata: “Jika pemerintah lambat merespons, mungkin sudah waktunya struktur wilayah diperbaiki.” Tidak sedikit masyarakat yang menilai bahwa pemekaran provinsi baru dapat menciptakan pemerintahan yang lebih dekat, cepat, dan efektif dalam penanganan bencana maupun pelayanan publik.
Apalagi Sumatera Barat memiliki wilayah cukup luas dengan tantangan geografis yang tidak mudah—mulai dari daerah pesisir, pegunungan, hingga daerah rawan longsor. Dengan pemerintahan yang terlalu terpusat, daerah paling terdampak justru sering kali tidak mendapatkan perhatian yang memadai.

Kehadiran dua spanduk ini juga memunculkan diskusi luas di tengah masyarakat. Sebagian melihatnya sebagai simbol keberanian, sebagian lagi menganggapnya bentuk kritik keras terhadap penguasa, dan tidak sedikit yang menilai bahwa inilah momentum untuk memperbaiki arah pembangunan daerah.
Pada akhirnya, masyarakat sepakat bahwa bencana bukan hanya tentang air bah, angin kencang, atau tanah longsor. Bencana juga tentang kurangnya kesiapsiagaan dan ketidakmampuan pemerintah hadir cepat ketika rakyat membutuhkan.

Dengan berdirinya dua spanduk tersebut, masyarakat berharap agar pemerintah tidak hanya melihatnya sebagai “pajangan”, tetapi sebagai pesan penting: rakyat ingin perubahan. Rakyat ingin pemerintah yang tanggap, peduli, dan hadir tanpa harus dipanggil. Rakyat ingin pemimpin yang mendengar, bukan yang sibuk mempercantik pencitraan.

Aksi pemasangan spanduk ini mengingatkan kita bahwa kekuatan masyarakat adalah fondasi utama dalam menghadapi bencana. Pemerintah boleh datang dan pergi, tetapi solidaritas warga akan selalu menjadi penopang utama. Dan jika aspirasi masyarakat untuk membentuk Provinsi DIM benar-benar kuat, maka itu adalah suara yang tidak boleh diabaikan.
Karena ketika dua spanduk itu berdiri berdampingan, keduanya berbicara hal yang sama: rakyat ingin bergerak maju, tanpa harus menunggu siapa pun.

Ketika malam turun dan listrik padam, hanya cahaya dari posko-posko kecil itu yang tetap menyala. Di sanalah warga berkumpul, berbagi cerita, saling menguatkan, dan merencanakan bantuan berikutnya. Posko itulah yang menjadi bukti bahwa harapan tidak pernah benar-benar padam di Sumatera Barat.
Dan jika pemerintah masih lambat bergerak, rakyat akan terus melangkah. Karena sejarah selalu membuktikan: perubahan besar lahir dari keberanian masyarakat kecil yang memilih bertindak.

Editor: TEUKU HUSAINI
Sinyalgonews.com

News Feed