PENOLAKAN PRESIDEN SOEHARTO SEBAGAI PAHLAWAN NASIONAL : DATANG DARI BEMNUS DIY

Nasional303 views

PENOLAKAN PRESIDEN SOEHARTO SEBAGAI PAHLAWAN NASIONAL : DATANG DARI BEMNUS DIY

Gunawan Harimain : Kordinator daerah BEMNUS DIY

jakarta : Badan eksekutif Nusantara Daerah istimewa Yogyakarta (BEMNUS DIY) secara Tegas Tolak Soeharto Ditetapkan Sebagai Pahlawan Nasional.
BEM Nusantara Daerah Istimewa Yogyakarta dengan nama akun IG @bemnusdiy.official. konrdinator daerah BEMNUS DIY Gunawan Harimain, menegaskan bahwa BEMNUS DIY tegas menolak pengangkatan Presiden Soeharto sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Menurutnya, penolakan ini bukan didasari kebencian personal tetapi melalui pertimbagan lewat kajian pelenelitian secara objektif selama 32 2 tahun di bawa masa kepemimpinanya( orde baru), tanggung jawab moral epistemik untuk menjaga kejujuran serta kemurnian sejarah bangsa serta kepercayaan public kita harus jujur dalam menempatakan gelar pada sosok sesuai dengan hukum, norma dan kaida yang berlaku sebagai negara hukum.
“BEMNUS DIY, Kami menolak tegas Soeharto dijadikan Pahlawan Nasional karena sejarah pemerintahannya mencatat banyak pelanggaran HAM, praktik korupsi, kolusi, nepotisme, dan represi politik yang masif. Penolakan ini adalah upaya menjaga integritas kebenaran sejarah, bukan sentimen politik,” ujar Gunawan di Yogyakarta, Sabtu (9/11/2025).
Penolakan Berdasarkan Kajian Historis dan Moral
Gunawan menjelaskan, berdasarkan hasil kajian yang merujuk pada berbagai penelitian ilmiah seperti Agustin & Fahruddin (2025), Halili (2016), Robison (2006), Elson (2001), serta McGlynn & Sulistyo (2007), terdapat empat alasan utama penolakan terhadap wacana gelar tersebut: tegas Kordinator BEMNUS DIY (Gunawan Hariamin).
1. Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat pada masa Orde Baru,
2. Praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang terlembaga,
3. Distorsi sejarah dan ingatan kolektif bangsa, serta
4. Ketidakselarasan moral dang hukum dengan kriteriag pahlawan nasional sebagaimana diatur dalam UU No. 20 Tahun 2009.
“Kepahlawanan tidak bisa diukur dari keberhasilan ekonomi semata. PDB meningkat, tapi kebebasan rakyat dibungkam. Kebenaran sejarah harus mempertimbangkan dimensi moral dan kemanusiaan,” tegasnya.
Pelanggaran HAM dan Korupsi Sistemik
Gunawan menyoroti berbagai pelanggaran HAM berat seperti tragedi 1965–1966, Tanjung Priok, Talangsari, hingga penculikan aktivis 1997–1998. Semua peristiwa itu, katanya, menunjukkan pola kekerasan negara yang tidak pernah dipertanggungjawabkan secara hukum.
Ia juga mengutip data Transparency International (2004) yang menempatkan Soeharto sebagai pemimpin paling korup abad ke-20 dengan dugaan kerugian negara mencapai USD 15–35 miliar.
“Fakta itu cukup membuktikan bahwa kriteria integritas dan keteladanan sebagai pahlawan jelas tidak terpenuhi,” ujarnya.
Distorsi Sejarah dan Ancaman terhadap Generasi Muda
BEM Nusantara DIY juga menilai bahwa rezim Orde Baru telah melakukan monopoli narasi sejarah, menampilkan Soeharto hanya sebagai “Bapak Pembangunan” tanpa ruang kritik.
Menurut Gunawan, bila gelar pahlawan diberikan, negara justru akan menegasikan pengalaman korban dan menghapus memori kolektif bangsa.
“Mengangkat Soeharto sebagai pahlawan berarti mengkhianati semangat Reformasi 1998 dan menyesatkan pendidikan sejarah generasi muda,” kata Gunawan.
Menjaga Nilai Reformasi dan Etika Kepemimpinan
BEM Nusantara menilai, langkah memberikan penghargaan kepada figur yang terlibat dalam pelanggaran HAM dan praktik korupsi berat akan menjadi preseden buruk bagi etika kepemimpinan nasional.
“Kalau pelanggaran hukum dan moral bisa ditebus dengan capaian ekonomi, bangsa ini kehilangan arah moral. Kepahlawanan harus dilihat dari keberanian menegakkan keadilan, bukan dari seberapa besar kekuasaan yang dimiliki,” tutup Gunawan.
BEM Nusantara DIY menegaskan bahwa penolakan terhadap Soeharto bukanlah aksi kebencian, melainkan bentuk tanggung jawab moral dan epistemik bangsa untuk memastikan bahwa gelar kehormatan negara hanya diberikan kepada sosok yang benar-benar memenuhi kriteria moral, hukum, dan historis.

News Feed