Perkuat Pertahanan Siber Nasional, Bamsoet Dorong Pemerintah Segera Ratifikasi Konvensi PBB dan Sahkan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber*

Nasional10 views

 

*JAKARTA* – Anggota DPR RI sekaligus Ketua MPR RI ke-15 dan Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Politik, Pertahanan & Keamanan KADIN Indonesia, Bambang Soesatyo, menegaskan pentingnya langkah cepat pemerintah Indonesia untuk memperkuat pertahanan siber nasional melalui dua agenda utama, yakni meratifikasi United Nations Convention Against Cybercrime yang baru saja disahkan Majelis Umum PBB, serta mempercepat pengesahan Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS). Kedua langkah tersebut akan menjadi pondasi hukum yang kokoh bagi Indonesia dalam menghadapi meningkatnya ancaman kejahatan siber lintas negara yang semakin kompleks dan berpotensi mengancam keamanan nasional.
“Disahkannya Konvensi PBB tentang Kejahatan Siber adalah momentum penting bagi dunia, termasuk Indonesia. Ini adalah babak baru kerja sama global melawan kejahatan siber. Kita tidak bisa tinggal diam. Indonesia harus segera meratifikasi konvensi itu dan mempercepat pembentukan UU Keamanan dan Ketahanan Siber sebagai perangkat hukum nasional,” ujar Bamsoet usai bertemu Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran Prof. Ahmad M. Ramli di Jakarta, Kamis (6/11/25).

Ketua DPR RI ke-20 dan Ketua Komisi III DPR RI ke-7 ini menjelaskan, dunia saat ini menghadapi ancaman digital yang sangat. Laporan Cybersecurity Ventures memperkirakan total kerugian akibat kejahatan siber global akan mencapai 10,5 triliun dolar AS pada tahun 2025. Kejahatan siber kini tidak hanya berbentuk peretasan atau pencurian data, tetapi sudah berubah menjadi serangan terhadap infrastruktur strategis negara. Mulai dari bandara, rumah sakit, jaringan listrik hingga sistem keuangan.

Serangan besar-besaran yang baru-baru ini melumpuhkan sistem sejumlah bandara utama di Eropa menjadi peringatan keras bagi Indonesia. Sistem transportasi, energi, dan keuangan nasional memiliki tingkat ketergantungan digital yang tinggi, namun belum sepenuhnya terlindungi.

“Serangan siber sudah menjadi alat geopolitik baru. Negara yang tidak siap bisa lumpuh tanpa satu pun peluru ditembakkan. Karena itu, keamanan siber bukan lagi urusan teknis, tapi soal kedaulatan,” tandas Bamsoet.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan Wakil Ketua Umum/Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini memaparkan, data Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) menunjukkan sepanjang tahun 2024 terdapat lebih dari 403 juta anomali trafik siber yang terdeteksi di Indonesia, meningkat sekitar 27 persen dibanding tahun sebelumnya. Sebagian besar serangan menargetkan infrastruktur informasi kritikal nasional (IIKN), seperti sektor pemerintahan, energi, transportasi, dan keuangan.

“Bayangkan bila sistem perbankan diretas, atau jaringan listrik dan bandara lumpuh bersamaan. Dampaknya bisa mengguncang stabilitas ekonomi dan keamanan nasional. RUU KKS harus segera disahkan agar negara memiliki dasar hukum yang tegas untuk melindungi infrastruktur strategis tersebut,” urai Bamsoet.

Dosen tetap pascasarjana Universitas Pertahanan (Unhan), Universitas Jayabaya, dan Universitas Borobudur ini menuturkan, RUU KKS akan mengatur secara komprehensif mengenai pembagian tanggung jawab antar instansi, protokol keamanan, hingga mekanisme penanganan insiden siber skala nasional. Saat ini, koordinasi antar lembaga seperti BSSN, Kominfo, Polri, dan BIN masih berjalan parsial.

“BSSN sudah bekerja keras di bidang mitigasi teknis. Tetapi tanpa dasar hukum yang mengikat, sistem pertahanan siber nasional belum punya kekuatan penuh. UU KKS akan menjadi tulang punggung koordinasi nasional menghadapi ancaman siber,” jelas Bamsoet.

Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Alumni Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran (PADIH-UNPAD) inj mencontohkan, banyak negara sudah melangkah jauh. Semisal, Amerika Serikat telah memiliki Cybersecurity and Infrastructure Security Agency Act, Uni Eropa menerapkan NIS2 Directive, sementara Singapura menetapkan Cybersecurity Act sejak 2018. Semua regulasi itu memastikan perlindungan infrastruktur kritikal dan memberikan sanksi hukum bagi penyelenggara yang lalai menjaga sistemnya.

“Negara-negara maju memahami bahwa data dan jaringan adalah aset strategis masa depan. Indonesia tidak boleh tertinggal. Kita harus segera membangun sistem hukum siber yang adaptif, agar mampu melindungi kepentingan nasional,” pungkas Bamsoet. (*)

News Feed