Presiden Prabowo Menyatukan Umat Manusia dalam Satu Pidato

Nasional46 views

 

Oleh Arvindo Noviar

Di banyak belahan dunia, anak-anak masih tidur dalam kelaparan, kota-kota hancur oleh perang, dan bangsa-bangsa dipaksa tunduk lewat invasi. Sejarah kolonialisme tidak pernah benar-benar berakhir, ia hanya bersalin rupa: dulu dijalankan dengan senjata dan bendera penjajah, kini hadir melalui utang, intervensi militer, dan korporasi global yang menguasai pangan maupun sumber daya alam. Dalam penderitaan yang berulang itu, kita diingatkan bahwa Tuhan tidak menciptakan manusia berbeda untuk saling menindas. Warna kulit, agama, bahasa, dan kebangsaan seharusnya menjadi kekayaan hidup, bukan dalih untuk menghisap atau menyingkirkan yang lain.

Negara dan organisasi dunia pada dasarnya hanyalah kesepakatan manusia untuk hidup bersama. Mereka tidak hadir secara alamiah, melainkan berdiri karena kita menaruh kepercayaan di dalamnya. Namun kepercayaan itu bisa rapuh. Negara dapat menjelma alat perampasan, organisasi internasional dapat berubah menjadi panggung kepentingan yang melupakan misi awalnya. Maka yang dipertaruhkan hari ini bukan sekadar kedaulatan suatu bangsa, melainkan kredibilitas peradaban: apakah manusia masih percaya bahwa hidup bersama sebagai keluarga global masih dimungkinkan.

Dalam forum PBB, Presiden Prabowo memilih jalan yang sederhana namun sarat bobot. Ia membuka dengan pengingat bahwa umat manusia adalah satu keluarga. Kalimat itu disampaikan di hadapan para pemimpin yang terbiasa mengukur kekuatan dengan senjata dan angka ekonomi. Dengan memilih bahasa keluarga, ia mengembalikan politik ke akar kemanusiaannya. Sebuah ajakan yang tampak sederhana, tetapi justru itulah yang paling sering hilang dalam diplomasi global.

Pesan itu terasa kuat karena muncul di tengah dunia yang terus dipecah oleh rasisme, diskriminasi, dan ketidakadilan. Kalimat keluarga manusia menjadi teguran moral. Ia seakan menyodorkan cermin di hadapan para pemimpin dunia: lihatlah wajah kalian sendiri, berbeda, tetapi lahir dari darah yang sama. Refleksi itu sekaligus mengangkat pengalaman Indonesia: bangsa yang pernah dijajah, tetapi berhasil memperjuangkan kemerdekaan dengan pengorbanan rakyatnya. Dari sejarah itu lahirlah otoritas moral untuk menegaskan bahwa kesetaraan adalah kebutuhan mendasar, bukan sekadar norma hukum.

Solidaritas terhadap Palestina menjadi salah satu inti pidato itu. Nama Palestina disebut tegas sebagai persoalan kemanusiaan yang masih terbuka di hadapan dunia. Indonesia menyatakan kesiapannya mengirim dua puluh ribu pasukan perdamaian bila mandat diberikan, sebuah penegasan bahwa bangsa ini tidak hanya berbicara, tetapi juga siap hadir di medan yang nyata. Pilihan itu menegaskan posisi Indonesia yang tidak rela berpaling dari penderitaan bangsa lain yang terpinggirkan, sebuah sikap yang lahir dari pengalaman panjang dijajah dan diperjuangkan dengan darah rakyat.

Pidato itu juga menempatkan pangan sebagai tema strategis. Pangan bukan sekadar komoditas, melainkan hak dasar yang menentukan hidup-mati manusia. Di banyak belahan dunia, kelaparan tetap menghantui, sementara pasar global memperlakukan harga seolah-olah perut manusia dapat ditukar dengan laba. Indonesia menekankan kedaulatan pangan sebagai syarat kemerdekaan sejati. Tanpa pangan yang merdeka, bangsa akan tetap terjajah meski benderanya masih berkibar.

Keberagaman mendapat tempat yang istimewa. Indonesia hadir dengan pengalaman nyata hidup dalam ratusan etnis, bahasa, dan keyakinan, namun tetap terikat sebagai satu republik. Pengalaman historis ini menjadi bukti bahwa perbedaan dapat diatur tanpa harus memecah. Bagi dunia yang sering menganggap perbedaan sebagai sumber konflik, pesan itu adalah tawaran paradigma: hidup bersama tidak menuntut keseragaman, dan keberagaman bukan alasan untuk saling bertikai.

Setiap tema yang diangkat Presiden Prabowo saling terkait. Solidaritas Palestina memperlihatkan sikap anti-kolonial yang konsisten. Isu pangan membuka mata tentang struktur ketidakadilan global. Pengalaman keberagaman Indonesia memberi bukti konkret bahwa hidup bersama dimungkinkan. Semuanya bertemu dalam satu gagasan besar: kesetaraan manusia adalah fondasi yang tak tergantikan bagi peradaban.

Dari podium itu, ia berbicara dengan nada yang melampaui urusan dalam negeri. Kata-katanya mengalir sebagai pengingat bahwa kepemimpinan dunia tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab kemanusiaan. Suara Indonesia hadir bukan untuk menambah daftar tuntutan, melainkan untuk berikrar: politik yang menempatkan manusia sebagai pusatnya.

Secara paradigmatik, pidato ini menantang arsitektur global. Ia mengajukan pertanyaan mendasar: apakah kita masih percaya pada cita-cita bersama, atau menyerah pada logika perampasan. Bila pilihan kedua ditempuh, masa depan hanya akan mengulang sejarah kolonialisme dalam wajah baru. Tetapi bila pilihan pertama berani dijalankan, umat manusia masih memiliki harapan membangun tatanan yang lebih adil.

PBB sendiri sedang diuji. Apakah ia hanya forum pidato yang penuh seremonial, atau masih mampu menjalankan mandatnya menegakkan keadilan dunia. Indonesia melalui Presiden Prabowo menuntut konsistensi itu. Tuntutan ini bukan hanya untuk kepentingan nasional, melainkan untuk seluruh umat manusia yang ingin hidup bermartabat.

Bagi rakyat, pidato ini adalah peneguhan. Kita mendengar suara pemimpin yang berani menyebut penderitaan dunia apa adanya, tanpa berlindung pada retorika. Kita mendengar seorang Presiden yang mengingatkan para pemimpin dunia bahwa kekuasaan hanya sah bila menjamin kesinambungan peradaban.

Pidato itu kini menjadi bagian dari percakapan dunia. Dan di tengah perbedaan, konflik bersenjata, serta perebutan kepentingan yang tidak pernah berhenti, pidato itu akan tetap hidup sebagai pengingat bahwa geopolitik hanya sah bila berpihak pada kelangsungan hidup manusia sebagai satu keluarga di bumi.

News Feed