Putusan MK dan Pelemahan Kerja Tim Reformasi Polri

Kolom26 views

 

Oleh Arvindo Noviar

Pada saat negara sedang berusaha menata kembali institusi keamanan agar mampu bekerja lebih efektif melindungi rakyat, muncul putusan Mahkamah Konstitusi yang melarang anggota kepolisian aktif menduduki jabatan sipil. Keputusan itu hadir pada waktu yang tidak tepat karena Presiden baru saja membentuk Tim Reformasi Polri untuk memperkuat profesionalisme, akuntabilitas, dan tata kelola institusi agar kepolisian semakin mampu mengemban mandat sebagai penjaga ketertiban sipil. Di tengah kehidupan sosial yang penuh tantangan seperti perampasan tanah di pedesaan, kriminalitas di pesisir, konflik komunal di daerah terpencil, serta lemahnya pelayanan publik di banyak tempat, negara membutuhkan aparatur yang terlatih menjaga ketertiban sipil sekaligus memahami mekanisme pemerintahan. Rakyat tidak hidup dalam ruang yang terpisah antara keamanan dan administrasi, karena kehidupan mereka menuntut negara hadir dengan kapasitas yang teratur dan menyeluruh.

Reformasi Polri yang dimulai sejak pemisahan dari TNI pasca 1998 menjadi bukti bahwa negara ingin membangun institusi keamanan nonkombatan yang berada di bawah kendali pemerintahan sipil. Keputusan itu melampaui dimensi administratif dan berfungsi sebagai tonggak sejarah yang menahan penyalahgunaan kekuasaan bersenjata sehingga kehidupan rakyat dapat terlindungi. Polri ditempatkan sebagai organ pemerintahan sipil yang menjalankan fungsi keamanan dalam negeri, sehingga keterlibatan polisi dalam jabatan sipil sebenarnya berada dalam kerangka reformasi tersebut. Saat MK memosisikan polisi seolah berada di luar ranah sipil, keputusan itu mengganggu desain reformasi dan menarik kembali garis yang telah dihapus oleh sejarah.

Kebutuhan rakyat dalam berbagai wilayah menunjukkan bahwa integrasi keahlian kepolisian dalam jabatan sipil merupakan tuntutan kehidupan sehari-hari. Kebutuhan tersebut terlihat nyata dalam lembaga yang mengatur kelautan dan perikanan yang harus mengawasi pencurian sumber daya laut dan melindungi ruang hidup nelayan dari praktik kriminal terorganisir. Lembaga yang menyusun kajian strategis nasional memerlukan pejabat yang mampu membaca ancaman jangka panjang dan menata strategi keamanan sipil. Lembaga yang mengatur hukum nasional membutuhkan figur yang memahami karakter kejahatan yang berkembang serta mampu menata regulasi dengan presisi. Penyelenggara kebijakan narkotika membutuhkan pemimpin yang mengerti pola jaringan kriminal lintas negara. Di ranah siber, negara memerlukan pejabat yang menguasai ancaman digital dan mampu menjaga infrastruktur data rakyat. Seluruh fungsi ini menunjukkan kebutuhan akan pejabat yang memadukan pemahaman hukum, keamanan, dan administrasi.

Selain itu, lembaga yang mengawasi perlindungan pekerja migran memerlukan pejabat yang memahami pergerakan kriminal lintas batas dan pola eksploitasi tenaga kerja. Pengawasan perdagangan memerlukan figur yang memahami praktik ilegal dalam rantai distribusi nasional. Penanggulangan terorisme membutuhkan pejabat yang mampu membaca pola radikalisasi. Dewan perwakilan negara memerlukan sekretariat yang mampu menjaga integritas proses politik dari ancaman keamanan. Pengawasan terhadap kejahatan kerah putih membutuhkan pejabat yang memahami relasi kuasa dan teknik manipulasi administrasi. Semua ini menjadi bukti bahwa jabatan sipil tertentu memerlukan kompetensi yang hanya dimiliki oleh aparatur yang telah lama bekerja menjaga ketertiban masyarakat. Integrasi keahlian kepolisian dalam jabatan sipil menjadi kebutuhan negara sipil yang ingin bekerja secara efektif melindungi rakyat dalam berbagai lini pemerintahan.

Putusan MK hadir sebagai keputusan yang membaca negara secara kaku dan tidak menangkap dinamika nyata kehidupan rakyat. Dalam putusan tersebut, polisi ditempatkan seperti entitas yang harus dipisahkan total dari struktur administrasi. Pandangan seperti ini tidak memiliki dasar historis karena Polri sejak reformasi adalah organ pemerintahan sipil dan tidak berada dalam struktur pertahanan negara. Dengan memutus bahwa polisi aktif tidak boleh mengemban jabatan sipil, MK menghadirkan kembali sekat usang yang sudah ditinggalkan sejarah. Keputusan ini membuat negara kehilangan salah satu sumber daya keahlian terpenting untuk melindungi rakyat di wilayah-wilayah kritis.

Dampak paling serius dari keputusan ini adalah hambatan langsung terhadap kerja Tim Reformasi Polri. Tim tersebut dirancang untuk membenahi kapasitas kelembagaan, memperbaiki tata kelola, menata ulang distribusi kewenangan, memperbaiki kultur, memperkuat profesionalisme, serta memastikan mekanisme akuntabilitas berjalan lebih efektif. Salah satu strategi reformasi adalah memberikan ruang bagi perwira kepolisian untuk menduduki jabatan sipil tertentu agar kompetensi keamanan dan administrasi dapat saling menguatkan. Putusan MK memotong jalur strategis ini sehingga agenda reformasi menjadi terganggu pada fondasinya. Situasi ini terasa janggal karena dalam Tim Reformasi Polri sendiri terdapat tiga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, figur yang memahami secara mendalam struktur hukum dan arah pembenahan institusi negara.

Ketika ruang integrasi keahlian terhambat, negara kehilangan kemampuannya untuk merespon persoalan yang dihadapi rakyat. Putusan MK membatasi polisi sekaligus membatasi daya negara sendiri. Di banyak wilayah Indonesia, terutama yang terpencil dan rawan konflik, kebutuhan akan pejabat yang memahami keamanan dan administrasi bersifat mendesak. Pelarangan total akan menyebabkan administrasi daerah kehilangan figur yang mampu menjaga keteraturan publik dalam situasi yang fluktuatif. Rakyat yang paling lemah menjadi pihak yang pertama menanggung akibat dari keputusan yang tidak mempertimbangkan dinamika kehidupan sosial.

Dari perspektif ideologis, negara sipil yang dewasa bukan negara yang memisahkan seluruh kemampuan institusional ke dalam kotak-kotak rigid, melainkan negara yang mampu mengorganisir seluruh sumber daya manusia agar bekerja dalam kerangka supremasi sipil. Supremasi sipil berarti seluruh aparat negara berada dalam kendali pemerintah sipil dan tidak menuntut pemutusan peran keamanan dari pemerintahan. Integrasi keahlian justru memperkuat kendali demokratis karena seluruh kemampuan keamanan berada dalam kerangka birokrasi sipil yang diawasi publik dan dikendalikan hukum.

Pendekatan multidisipliner memperkuat kesimpulan ini. Sejarah negara-negara modern menunjukkan bahwa kemampuan negara untuk bertahan terhadap ancaman bergantung pada kemampuan menggabungkan keahlian lintas sektoral. Ilmu hukum tata negara menegaskan bahwa Polri adalah organ pemerintahan sipil. Antropologi sosial memperlihatkan bahwa rasa aman masyarakat terbentuk dari kehadiran aparat yang mampu mengelola hubungan sosial dalam situasi krisis. Administrasi publik mengajarkan bahwa kapasitas negara lahir dari mobilitas keahlian. Psikologi sosial menunjukkan bahwa kehadiran pejabat berpengalaman dalam keamanan meningkatkan kepercayaan publik. Semua disiplin bertemu pada kesimpulan bahwa pelarangan total melemahkan negara.

Negara memiliki pilihan yang lebih dewasa daripada pelarangan, yaitu mekanisme tata kelola yang mengatur penempatan polisi aktif dalam jabatan sipil melalui seleksi terbuka, masa penugasan terbatas, audit akuntabilitas, pengawasan publik, dan batasan kewenangan yang jelas. Jalan ini memperkuat integrasi keahlian, menjaga supremasi sipil, sekaligus memastikan tidak ada penyalahgunaan kewenangan. Negara dapat mengatur tanpa menghilangkan kapasitasnya sendiri.

Pada akhirnya, politik hanya sah apabila memperluas kapasitas kehidupan rakyat. Putusan MK mengurangi kemampuan negara untuk melindungi rakyat dan menghambat agenda pembenahan institusi kepolisian yang sedang diupayakan secara serius oleh pemerintah. Tim Reformasi Polri merupakan langkah strategis untuk membawa kepolisian menuju standar modern yang lebih profesional dan akuntabel. Setiap keputusan yang melemahkan langkah tersebut perlu dibaca sebagai gangguan terhadap masa depan negara sipil Indonesia. Rakyat membutuhkan negara yang terorganisir, menggunakan seluruh kemampuan institusionalnya, dan mampu memikul tanggung jawab secara penuh. Indonesia perlu memilih jalan yang memampukan negara untuk bekerja dengan seluruh kekuatannya, bukan jalan yang memperkecil kapasitas negara sendiri. Esai ini berdiri pada posisi bahwa penguatan negara sipil menuntut integrasi keahlian dan pengetahuan, dan segala keputusan yang menghambat agenda reformasi perlu dikoreksi demi kelangsungan kehidupan rakyat.

News Feed