Refleksi Negara Gagal Berpikir*: Banjir Dianggap Takdir, Bela Negara Jadi Lelucon, Pangan Diserahkan ke Impor, Bandara Beroperasi Tanpa Negara

Nasional9 views

 

Ketika banjir dan bencana ekologis di Sumatera dan pulau lain terus berulang tanpa perubahan kebijakan mendasar, itu bukan lagi musibah, itu kejahatan tata kelola. Negara sangat tahu penyebabnya: hutan dihancurkan, sungai diperkosa, tata ruang dijual. Namun negara memilih diam. Air naik, rakyat tenggelam, lalu negara datang membawa tenda, pejabat memanggul beras dengan sorot kamera, dan pidato empati palsu. Ini bukan ketidakmampuan, ini pilihan politik.

Di tengah kegagalan melindungi lingkungan dan nyawa warganya sendiri, negara justru sibuk mereduksi konsep “bela negara” menjadi panggung simbolik. Ketika figur tanpa kapasitas strategis diangkat ke dalam program pertahanan berjudul Bela Negara, pesan negara sangat telanjang: pertahanan bukan soal kompetensi, tapi soal siapa yang berguna untuk citra. Bela negara berubah dari kesadaran kolektif menjadi aksesori kekuasaan. Institusi dipermalukan oleh keputusan administratifnya sendiri.

Puncak absurditas Indonesia hadir dalam kebijakan pangan. Di negara kepulauan terbesar di dunia, dengan laut yang membentang dan sungai yang tak terhitung, negara memilih impor sapi dari Afrika untuk program nasional Makan Bergizi Gratis. Ini bukan kebijakan, ini pengakuan kegagalan negara membangun kedaulatan pangan. Negara seolah berkata: kami tidak mampu memberdayakan nelayan, kami tidak percaya pada peternak dan petani, kami lebih nyaman bergantung pada pasar global.

Ketika semua ini terjadi, negara juga sebelumnya telah menutup mata terhadap praktik operasional yang berbahaya dan ilegal. Bandara Morowali, misalnya, beroperasi tanpa pengawasan reguler dan tanpa kehadiran negara yang memastikan standar keselamatan, keamanan, dan lingkungan. Bandara yang seharusnya menjadi simbol kemajuan justru menjadi cermin dari kelemahan pengawasan publik dan ketidakpedulian elite. Ketika investasi dan proyek infrastruktur dilegalkan tanpa kontrol, rakyat menjadi pihak yang menanggung risiko, sementara elite tersenyum menikmati proyek pengadaan dan keuntungan sesaat.

Keempat fakta di 2025 ini: bencana ekologis yang dibiarkan, bela negara yang dijadikan lelucon, pangan yang diimpor tanpa rasa malu, ditambah dengan infrastruktur strategis yang beroperasi tanpa pengawasan negara, semuanya bukan kebetulan. Ini satu sistem. Sistem di mana negara: tidak merencanakan,
tidak belajar, dan tidak merasa perlu bertanggung jawab.

Negara tidak lagi berpikir sebagai penjaga masa depan, tetapi sebagai manajer krisis jangka pendek. Selama hari ini aman secara politik, kerusakan besok bukan urusan. Rakyat diminta bersabar dan “memahami situasi nasional dan global”, sementara elite terus sibuk memproduksi kebijakan tanpa arah.

Paling berbahaya dari kesemuanya ini, kegagalan dinormalisasi. Kritik dicibir. Akademisi dianggap berisik. Rasionalitas dituduh pesimis. Padahal yang sedang terjadi adalah pembusukan akal sehat dalam pengambilan keputusan negara.

Indonesia tidak kekurangan sumber daya alam, manusia, atau pengetahuan. Yang hilang adalah rasa malu kekuasaan. Negara yang masih punya rasa malu tidak akan membiarkan warganya tenggelam tiap tahun, tidak akan mempermainkan konsep dan sistem pertahanan, tidak akan menjadikan impor sebagai solusi permanen, dan tidak akan membangun bandara strategis beroperasi tanpa pengawasan negara.

Jika ini terus dibiarkan, jangan lagi menyebut banjir sebagai bencana alam. Jangan sebut impor sebagai keniscayaan. Jangan sebut kegagalan sebagai nasib. Jangan sebut bandara tanpa pengawasan sebagai investasi. Sebutlah apa adanya: negara yang berhenti berpikir dan rakyat semesta Indonesia yang dipaksa menanggung akibatnya.

27 Desember 2025

*Connie Rahakundini Bakrie*
Guru Besar St Petersburg State University, menetap di Russia.

News Feed