Jakarta-JABATAN Komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebaiknya diberikan kepada mereka yang memiliki kapasitas dan profesionalitas. Parameternya, setiap perusahaan negara didirikan untuk kepentingan kemajuan negara dan kesejahteraan rakyat Indonesia secara komprehensif.
“Karena itu, selayaknya jabatan komisaris pun tidak disandang rangkap oleh wakil menteri atau jabatan kenegaraan lainnya karena hal itu tidak elok dan tidak etis dilihat dari berbagai sudut pandang, bahkan dari sisi hukum ketatanegaraan di Indonesia. Janganlah memaksakan kehendak untuk melegitimasi kepentingan kelompok-kelompok tertentu di negara hukum yang jelas dan tegas yang sudah kita sepakati bersama,” kata Direktur Eksekutif Pranata Politik Nasional Rusdy Setiawan Putra di Jakarta, Selasa (13/6/25).
Rusdy mengatakan, larangan rangkap jabatan bagi menteri semestinya berlaku pula bagi wakil menteri. Alasannya, keduanya bagian dari struktur kekuasaan eksekutif di pemerintahan.
Artinya, kata Rusdy, wakil menteri bukan sekadar pelengkap, melainkan bagian dari arsitektur kekuasaan eksekutif yang memiliki pengaruh besar terhadap arah kebijakan kementerian.
Bahkan, dalam beberapa kasus, menurut Rusdy, wakil menteri justru memiliki ruang gerak yang lebih bebas dan jauh dari pantauan publik. Dengan demikian, potensi konflik kepentingannya tidak tampak di ruang publik.
“Justru tampaknya kekosongan norma hukum ini justru dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menempatkan wakil menteri sebagai komisaris BUMN dengan dalih aturan tidak secara eksplisit melarang,” kata Rusdy.
Di sisi lain, Rusdy menegaskan bahwa praktik semacam itu, bukan hanya melemahkan pengawasan terhadap BUMN, tetapi juga merusak integritas kelembagaan di tingkat kementerian dan internal perusahaan negara.
”Rangkap jabatan ini bukan semata soal gaji tambahan atau prestise simbolik. Ini adalah persoalan mendasar tata kelola negara dan pemerintahan,” kata Rusdy.
Pejabat kementerian, kata Rusdy, memiliki kewenangan regulatif dan administratif. Ketika orang yang sama duduk sebagai komisaris, dapat dipastikan orang tersebut menjadi bagian dari struktur yang seharusnya diawasi.
“Tidak akan ada mekanisme keseimbangan dan saling kontrol yang sehat ketika pengawas merangkap sebagai pelaksana. Pada akhirnya, konflik kepentingan yang dibiarkan tumbuh seperti ini pada akhirnya mencederai integritas institusi,” kata Rusdy.
Menurut Rusdy, BUMN akhirnya berisiko menjauh dari jatidiri sebagai entitas profesional yang mengutamakan efisiensi dan pelayanan publik, menjadi alat distribusi kekuasaan dan loyalitas politik. “Logika meritokrasi pun terancam digantikan oleh logika patronase atau hubungan saling menguntungkan antara penguasa dan klien,” tandas Rusdy.