Ket.foto: Marsha Widodo, siswi Jakarta Intercultural School (JIS), berbagi pandangannya tentang pentingnya menjadikan museum sebagai ruang yang hidup dan interaktif bagi generasi muda dalam diskusi “Museum untuk Generasi Z: Dari Ruang Pamer ke Ruang Main” di Museum Sonobudoyo, Yogyakarta, Senin (13/10/2025).
Seminar “Museum X Gen Z: Dari Ruang Pamer ke Ruang Main” Menyerukan Generasi Z Merevitalisasi Museum sebagai Tempat Bermain, Belajar, dan Menemukan Makna
Yogyakarta, Kesbangnews.com
Di momen memperingati Hari Museum Nasional, Museum Sonobudoyo Yogyakarta, menggelar Mini Seminar “Museum X Gen Z: Dari Ruang Pamer ke Ruang Main”, Yogyakarta, Senin (13/10/2025).
Tampil sebagai pembicara antara lain Marsha Widodo (siswi Jakarta Intercultural School (JIS)), Kepala Museum Sonobudoyo, Ery Sustiyadi, dan Ignatia Nilu (kurator independen asal Yogyakarta).
Menurut Marsha Widodo, Generasi muda Indonesia harus peduli dan turut mendukung keberadaan dan keberlangsungan sebuah museum. Karena melalui museum, generasi muda dapat belajar tentang nilai-nilai perjuangan, seni, dan kearifan lokal yang membentuk jati diri Indonesia.
“Museum membuat budaya tetap hidup. Museum bukan hanya tempat menyimpan, tapi tempat berbagi: ruang dialog antara generasi, antara komunitas, dan antara masa lalu serta masa depan,” pungkas Marsha Widodo.
“Museum memiliki makna dan relevansi yang sangat penting bagi generasi muda Indonesia. Dengan mengunjungi Museum, kita diingatkan akan peran penting museum sebagai tempat penyimpan sejarah, kebudayaan, dan identitas bangsa. Bagi saya pribadi, museum itu bukan sekedar tempat untuk menyimpan benda-benda bersejarah dan kuno, tetapi juga sarana pendidikan (edukatif) yang hidup yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan, ”
“Bagi saya, museum bukan hanya tempat untuk melestarikan, tapi juga ruang untuk berpartisipasi dan menghubungkan orang kembali dengan cerita yang milik mereka sendiri,” lanjutnya.
Tegas Marsha lagi, Museum merupakan Sumber pengetahuan historis. Museum memberikan akses pengetahuan dan informasi tentang sejarah, budaya, sains, dan teknologi.
Jadi, museum merupakan tempat dan pusat pembelajaran. Museum merupakan ekosistem lingkungan belajar yang interaktif dan menyenangkan bagi generasi muda. Museum dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman generasi muda tentang dunia di sekitar mereka.
Menurut Marsha, museum bisa menjadi tempat untuk mengembangkan kreativitas. Museum dapat membangkitkan kreativitas dan imajinasi generasi muda melalui pameran dan program yang interaktif. Jadi, museum dapat membantu generasi muda mengembangkan keterampilan seperti analisis, kritis berpikir, dan komunikasi. Museum dapat menjadi sumber inspirasi dan motivasi bagi generasi muda untuk mengembangkan wawasan pengetahuan dan passionnya.
Marsha mengingatkan, Museum dapat membantu generasi muda memahami dan menghargai warisan budaya dan sejarah kita. Sehingga menumbuhkan rasa cinta budaya dan penghargaan terhadap budaya dan warisan Bangsa.
Dengan demikian, museum memiliki peran penting dalam membentuk generasi muda yang berpengetahuan, kreatif, dan memiliki rasa cinta budaya yang kuat.
Bagi Marsha Widodo, siswi Jakarta Intercultural School (JIS), museum bukan tempat yang membosankan, melainkan ruang bermain bagi rasa ingin tahu. Di tengah dominasi media digital yang serba cepat, ia mengajak generasinya memandang museum sebagai ruang hidup yang interaktif dan relevan dengan kehidupan masa kini.
“Kita lahir di era video 15 detik. Saat menghadapi teks panjang atau penjelasan rumit di museum, banyak yang langsung merasa bosan. Padahal, museum bisa jadi ruang bermain yang mengasah rasa ingin tahu,” ujar Marsha di hadapan peserta Mini Seminar bertema “Museum X Gen Z: Dari Ruang Pamer ke Ruang Main” yang digelar di Gedung Panji Lantai 2, Museum Sonobudoyo Yogyakarta, Senin (13/10/2025),
Ia menilai, suasana museum yang kaku sering membuat pengunjung muda merasa terintimidasi.
“Ketika melihat artefak di balik kaca, kita merasa ada jarak antara diri kita dan sejarah itu sendiri. Museum seharusnya membuat kita ingin mendekat, bukan menjauh,” katanya.
Menurut riset yang ia kutip, 50–70 persen remaja di negara Barat rutin mengunjungi museum, sementara di Australia angkanya mencapai 95 persen pada kelompok usia 15–17 tahun. Di Indonesia, meski 78 persen remaja pernah datang ke museum, sebagian besar hanya sekali setahun dan karena tugas sekolah.
“Budaya museum di Indonesia belum tumbuh sebagai kebiasaan. Banyak yang datang karena disuruh, bukan karena ingin tahu,” ujar Marsha.
Bagi Marsha, perubahan semacam ini penting agar museum menjadi bagian dari kehidupan generasi muda.
“Museum bukan tempat kuno yang membosankan. Ini ruang kita untuk memahami siapa kita, dari mana kita berasal, dan ke mana kita akan pergi. Mengunjungi museum bukan sekadar mengenang masa lalu, tapi membangun masa depan,” pungkasnya.
Bagi Marsha Widodo, museum bukan sekadar ruang penuh benda di balik kaca. Di mata siswi Jakarta Intercultural School (JIS) itu, museum seharusnya menjadi ruang yang hidup—tempat bermain, bertanya, dan menemukan makna.
Sebab, bagi generasi muda seperti dirinya, bermain bukan berarti main-main, melainkan cara baru untuk mencintai kebudayaan.
Pandangan itu ia sampaikan dalam diskusi bertajuk “Museum untuk Generasi Z: Dari Ruang Pamer ke Ruang Main” di Museum Sonobudoyo Yogyakarta, Senin (13/10/2025).
Di hadapan peserta yang sebagian besar pelajar, Marsha berbicara tentang bagaimana generasinya memandang museum di tengah kehidupan digital yang serba cepat dan visual.
“Saya merasa generasi kita memiliki mindset yang lebih interaktif, lebih terbuka, dan lebih menarik,” ujar Marsha.
“Jadi, dalam presentasi ini, saya ingin berbicara tentang bagaimana, setelah kita memiliki interaksi dan kesadaran itu, apa peran kita sebagai Generasi Z untuk terus memulai dan menumbuhkan kegembiraan itu—kegembiraan untuk terlibat, untuk berinteraksi, dan untuk belajar—dalam diri kita sendiri.”
Marsha mengaku, bagi banyak anak muda, museum sering kali terasa seperti ruang yang berjarak. Tenang, teratur, namun dingin dan sulit diakrabi.
“Mari kita mulai dari satu pertanyaan sederhana: apa yang membuat kita pergi ke museum di awal?” katanya.
“Bukankah museum sering terasa agak mengintimidasi? Kita masuk ke ruang yang tenang, penuh benda di balik kaca, dan merasa tidak terhubung. Ada dinding tak kasatmata antara kita dan benda-benda itu. Akibatnya, museum jadi terasa ‘biasa saja’. Kita datang sekali, lalu selesai.”
Kondisi ini, menurutnya, berbeda jauh dengan kebiasaan generasi muda di negara lain. Di Amerika Serikat, sekitar 50–70 persen anak muda rutin mengunjungi lembaga budaya seperti museum setiap tahun. Di Australia, bahkan remaja berusia 15 hingga 17 tahun terbiasa datang ke museum karena keinginan sendiri, bukan karena tugas sekolah atau dorongan orang tua.
Bagi Marsha, fakta itu memperlihatkan bahwa museum di Indonesia masih belum menjadi bagian dari rutinitas budaya masyarakat. “Kita cenderung menonton dari jauh, bukan mengalami langsung,” katanya.
Ia kemudian mengusulkan konsep Ruang Main—sebuah cara baru memandang museum bukan sebagai ruang pamer, tetapi ruang pengalaman.
“Kalau kita masuk ke ruang pamer di museum, kita biasanya hanya melihat benda-benda yang dipajang, membaca label, lalu keluar,” ucapnya.
Pandangan Marsha sejalan dengan langkah Museum Sonobudoyo Yogyakarta yang kini bertransformasi dengan dukungan teknologi modern. Kepala Museum Sonobudoyo, Ery Sustiyadi, menjelaskan bahwa pelestarian ribuan koleksi dilakukan secara menyeluruh melalui konservasi preventif, kuratif, hingga restorasi, dengan sistem digital berbasis Internet of Things (IoT).
“Semua koleksi di ruang pamer, storage, dan laboratorium harus memenuhi standar suhu, kelembapan, serta intensitas cahaya tertentu. Sekarang kami sudah menggunakan sistem IoT, jadi kondisi ruangan bisa dipantau langsung melalui sistem digital,” ujar Ery.
Ery menambahkan, metode anoksida digunakan untuk membasmi serangga tanpa bahan kimia, sementara keamanan koleksi diperkuat dengan RFID, sensor gerak, dan virtual border di ruang pamer. “Kami ingin museum aman tapi tetap nyaman dan interaktif bagi pengunjung,” katanya.
Museum Sonobudoyo juga memanfaatkan teknologi video mapping, media interaktif, dan sensor suara untuk memperkaya pengalaman edukatif. “Di lantai lima dan enam, kami tampilkan animasi Serat Ajisaka dari naskah asli koleksi museum. Pengunjung bisa belajar sejarah sambil menikmati pertunjukan visual,” jelasnya.
Sementara itu, Ignatia Nilu, kurator independen asal Yogyakarta, menilai bahwa museum masa kini harus menjadi ruang hidup dan partisipatif. “Museum seharusnya mampu menjembatani pengetahuan dengan masyarakat melalui cara yang menyenangkan. Anak-anak seharusnya tidak takut datang ke museum, tapi ingin berlama-lama di sana,” ujarnya.
Nilu mengungkapkan bahwa beberapa pameran kini mulai menggabungkan unsur video art, light box, hingga scanography.
“Institusi museum tidak boleh hanya menampilkan koleksi statis. Ia harus menjadi ruang bermain, ruang pengetahuan, dan ruang eksperimen,” katanya.(*)