Soeharto dan Fakta Legasi yang Tak Terbantahkan

Nasional43 views

Catatan Politik Bamsoet

 

Bambang Soesatyo
Anggota DPR RI/Ketua MPR RI
ke-15/Ketua DPR RI ke-20/Ketua komisi III DPR RI ke-7/Dosen Pascasarjana (S3) IImu Hukum Universitas Borobudur, Universitas Jayabaya dan Universitas Pertahanan (Unhan)

SETIAP generasi negara-bangsa Indonesia terpanggil untuk memikul tanggungjawab seturut tantangan zamannya. Kalau generasi Indonesia terkini didorong aktif memerangi korupsi di tengah tantangan untuk segera beradaptasi dengan komunitas super cerdas society 5.0, tantangan generasi terdahulu tentu berbeda. Ketika dunia diwarnai oleh konflik ideologi di sepanjang dekade 1960-an, sosok Soeharto dan rekan-rekannya sesama prajurit TNI tampil menjadi garda terdepan yang menjaga dan memastikan tegaknya Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi Bangsa Indonesia.

Hingga hari ini, masih begitu banyak catatan dan kisah tentang perjuangan generasi terdahulu menegakkan Pancasila pada dekade itu, yang tentu saja bisa disimak generasi terkini. Catatan historis juga menjelaskan bahwa keberhasilan memperkokoh Pancasila sebagai ideologi bangsa tidak otomatis menyejahterahkan masyarakat. Yang tersisa adalah ketidakpastian dan sektor ekonomi yang porak poranda.

Untuk mewujudkan kepastian itulah pada 12 Maret 1967, segenap elemen bangsa yang terwadahkan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) bersepakat mengangkat Jenderal Soeharto sebagai pejabat presiden melalui TAP MPRS Nomor XXIII/MPRS/1967. Pada dekade itu, MPRS berstatus sebagai lembaga tertinggi negara. Didukung oleh sejumlah teknokrat handal dan diplomat yang mumpuni, Soeharto berfokus pada upaya mewujudkan ketertiban umum demi memperkokoh persatuan sebagai modal utama membangun perekonomian negara.

Kepastian tentang kepemimpinan nasional saat itu kemudian diperkuat melalui ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968 pada 27 Maret 1968. TAP MPRS ini mengangkat Soeharto sebagai Presiden RI. Selain memrioritaskan terwujudnya stabilitas national dan ketertiban umum, Soeharto juga menjadikan pembangunan ekonomi negara sebagai prioritas utama. Bersama para teknokrat dan ekonom, Soeharto kemudian merancang konsep dan strategi pembangunan nasional.

Gagasan dan inisiatif Soeharto tentang pembangunan nasional itu didiskusikan dan diolah oleh sejumlah teknokrat. Mereka antara lain Widjojo Nitisastro, Emil Salim, Ali Wardhana, Frans Seda, J.B. Sumarlin, Saleh Afiff, Subroto serta Mohammad Sadli. Dari proses yang panjang dan berkelanjutan itulah lahir konsep dan strategi pembangunan nasional, yang disebut Repelita atau Rencana Pembangunan Lima Tahun. Repelita bermuatan Trilogi Pembangunan, mencakup stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan. Repelita berfokus pada pembangunan sektor pertanian, pembangunan infrastruktur, serta perumahan rakyat (popular dengan sebutan Perumnas).

Pembangunan lima tahun (Pelita) pertama dimulai pada 1 April 1969, dan berakhir 31 Maret 1974. Repelita selalu diperbarui setiap lima tahun. Sejarah pembangunan nasional kemudian mencatat adanya Pelita II, Pelita III dan seterusnya, yang kemudian disebut dengan program Pembangunan Jangka Panjang (PJP) Pertama. Untuk memberi peluang bagi sektor bisnis menciptakan lapangan kerja, Soeharto dan para ekonom-nya merancang undang-undang penanaman modal. Lahirlah UU No.1/1967 tentang penanaman modal asing (UU PMA). Penerapan UU PMA ini mendorong peningkatan produktivitas perekonomian negara.

Salah satu aspek paling menonjol dari muatan Repelita adalah besarnya kepedulian pemerintahan Soeharto pada pembangunan pedesaan dan masyarakatnya, utamanya komunitas petani. Bagi Soeharto, pembangunan harus menyentuh desa dan masyarakatnya agar sektor pertanian mampu mewujudkan swasembada pangan. Kepedulian itu melahirkan beberapa program, antara lain Bimas (Bimbingan Massal) dan program pembangunan pertanian. Berkat program-program seperti itu, aktivitas perekonomian di pedesaan meningkat. Konsekuensinya, kebutuhan akan layanan perbankan di desa pun bertumbuh.

Bank didorong masuk desa agar mudah diakses oleh petani dan masyarakat desa. Dari inisiatif itu, lahir dan direralisasikan sejumlah inisatif populis yang langsung menyentuh kepentingan komunitas petani. Masyarakat kemudian mengenal koperasi unit desa (KUD), Program Kupedes (Kredit Umum Pedesaan), kredit usaha tani (KUT) yang dimulai sejak 1985 hingga Simpanan Pedesaan (Simpedes). Kupedes yang disalurkan melalui Bank Rakyat Indonesia (BRI) berjalan sebagai mekanisme penyediaan kredit untuk mendukung kegiatan ekonomi masyarakat desa, termasuk sektor pertanian. Kewirausahaan di pedesaan pun tumbuh pesat.

Sedangkan untuk mendukung pembangunan kewirausahaan di perkotaan, Soeharto menugaskan bank-bank milik pemerintah untuk menyediakan fasilitas kredit yang ringan. Dari penugasan ini, pada 1973 lahir fasilitas Kredit Investasi Kecil dan fasilitas Kredit Modal Kerja Permanen (KIK/KMKP).

Pada era itu, terdata tak kurang dari 9.000 KUD dengan jumlah anggota 13,4 juta kepala keluarga. KUD, misalnya, diberi mandat menyediakan pupuk dan sarana produksi, memasarkan hasil pertanian, hingga melayani simpan-pinjam untuk petani.. Konstribusi desa dan meningkatnya produktivitas komunitas petani berbuah nyata, ditandai dengan terwujudnya swasembada beras pada 1984.

Soeharto juga membangun suasana komunikatif dan dialog dengan komunitas petani serta nelayan, melalui program Kelompencapir (kelompok pendengar, pembaca dan pemirsa). Program ini diwujudnyatakan melalui siaran Radio Republik Indonesia (RRI), TVRI dan program koran masuk desa. Melalui program inilah Soeharto memasyarakatkan program pembangunan, termasuk program Keluarga Berencana (KB). Sebaliknya, komunitas petani pun dapat menyuarakan aspirasi mereka.

Tidak mengherankan jika dalam setiap sidang kabinet bidang ekonomi, Soeharto dan para menterinya sampai menyoal harga beras, tomat, bawang dan cabe keriting. Semua itu dibahas karena soeharto peduli pada urgensi pengendalian inflasi.

Kebutuhan anak-anak akan pendidikan dasar pun tak luput dari perhatian Soeharto. Dia menerbitkan instruksi presiden (Inpres) No.10/1974 tentang pembangunan sekolah dasar. Pembangunan sekolah dasar pun masif. Hingga tahun 1994 misalnya, dibangun tak kurang dari 150.000 unit sekolah untuk SD inpres. Sementara itu, untuk mencegah penyerapan ideologi lain, pemerintah berupaya menyosialisasikan nilai-nilai Pancasila kepada semua elemen masyarakat, Soeharto menginisiasi program Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).

Aspek lain yang juga menarik untuk disimak adalah cara atau kebijakan Soeharto dalam memilih dan menunjuk calon pemimpin publik seperti gubernur, bupati atau walikota. Soeharto cenderung memilih figur-figur yang sudah melalui program pematangan di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas). Memang, tidak ada peraturan tertulis yang menetapkan bahwa calon pemimpin publik di era Orba harus lulus Lemhannas. Namun, pada era itu setiap figur yang ingin menjadi pemimpin publik selalu berusaha mengikuti program-program di Lemhannas. Hal ini sudah menjadi pengetahuan umum pasa masa itu.

Itulah sekilas catatan legasi dari Presiden Kedua Republik Indonesia, Soeharto. Untuk tiga dekade lebih pengabdiannya kepada negara-bangsa, MPR telah menganugerahi Soeharto gelar “Bapak Pembangunan Indonesia”. Penganugerahan itu tertuang dalam TAP MPR No. IV/MPR/1983. Gelar ini diberikan sebagai apresiasi atas keberhasilan pembangunan ekonomi dan infrastruktur yang signifikan selama masa kepemimpinannya melalui program-program Repelita.

Terkait dengan sosok Soeharto, sejarah Indonesia sejatinya sudah memasuki babak baru yang sarat makna dan refleksi mendalam. Pada 25 September 2024, MPR RI periode 2019–2024 yang dipimpin oleh Bambang Soesatyo menorehkan keputusan monumental, yakni mencabut tiga Ketetapan MPR yang selama puluhan tahun menjadi catatan kelam perjalanan sejarah republik. Dalam satu langkah politik yang menyatukan seluruh fraksi dan kelompok DPD, MPR RI resmi memulihkan nama baik tiga Presiden Republik Indonesia, yakni Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, dan Presiden Abdurrahman Wahid.

TAP MPR yang dicabut adalah TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Sukarno; TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; serta TAP MPR Nomor II/MPR/2021 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia KH Abdurrahman Wahid.

Keputusan ini disahkan dalam Sidang Akhir Masa Jabatan MPR 2019–2024 yang dihadiri lebih dari dua pertiga anggota MPR dari unsur DPR dan DPD. Sebelum sampai pada tahap pengesahan, keputusan tersebut telah melalui serangkaian rapat intensif. Rapat Gabungan Pimpinan MPR dengan seluruh pimpinan fraksi dan kelompok DPD pada 23 September 2024 menjadi forum penting yang menandai konsensus nasional. Dari situ, lahir kesepakatan politik yang jarang terjadi. Semua fraksi MPR dan kelompok DPD sepakat mengakhiri perdebatan panjang terkait tiga Presiden Indonesia tersebut.

Berpijak pada ketetapan MPR memulihkan nama baik tiga Presiden Republik Indonesia itulah muncul inisiatif untuk menganugerahi gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden Soeharto. Gelar ini bukan simbolik, melainkan wujud penghormatan dan pengakuan atas rangkaian fakta legasi Soeharto yang Tak Terbantahkan.

Seperti kebanyakan orang lainnya, Soeharto pun hanya manusia biasa yang tak mungkin luput dari salah. Namun kelemahan kodrati itu tidak otomatis mengeliminasi nilai-nilai pengabdiannya kepada negara-bangsa. Dia ditampilkan oleh sejarah ketika Indonesia terseret dalam konflik ideologi. Dia telah mempertaruhkan segala sesuatunya demi tegaknya Pancasila. Dia pun telah melaksanakan amanahnya sebagai Presiden dengan mengaktualisasikan pembangunan di segala bidang melalui konsep dan strategi Repelita. Dia layak dikenang sebagai pahlawan nasional.

News Feed