Penulis : M Azwar Aziz Abd.
Pancasila lahir sebagai dasar negara, bukan hanya untuk dibacakan tiap tanggal 1 Oktober, tapi untuk dihidupi dalam setiap denyut kehidupan berbangsa. Kesaktiannya tidak boleh berhenti sebagai seremonial, melainkan mesti hadir nyata dalam keadilan sosial, penghormatan pada budaya, dan keberpihakan pada daerah. Namun kenyataannya, banyak daerah termasuk Minangkabau masih jauh dari rasa keadilan itu.
Urang Minang dari dulu telah berkontribusi besar bagi republik ini. Dari gagasan, darah pejuang, hingga sumbangan tokoh-tokoh nasional yang lahir di ranah ini, semuanya ikut menegakkan Pancasila. Tetapi, apakah balasan yang sepadan sudah diberikan negara? Sejahtera indak, tanah ulayat terancam, adat dan budaya sering tersisih. Inilah alasan kenapa kita harus bicara tentang perlunya *Daerah Istimewa Minangkabau*.
Keistimewaan bukanlah sekadar gelar untuk dibanggakan. Ia adalah mekanisme hukum yang menjamin nilai ABS-SBK (Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah) bisa tegak berdampingan dengan Pancasila. Kalau Aceh bisa dengan syariatnya, Jogja bisa dengan keistimewaan budayanya, kenapa Minangkabau yang punya filosofi hidup dan kontribusi besar untuk bangsa justru dibiarkan berjalan sendiri tanpa payung hukum yang jelas?
Hari Kesaktian Pancasila adalah momentum untuk menagih janji, bahwa keadilan memang berlaku dari Sabang sampai Merauke. Kalau tidak, maka Pancasila hanya jadi bacaan, bukan lagi pedoman. Kita tidak ingin hanya sekadar jadi penonton sejarah, sementara identitas dan hak-hak anak kamanakan terkikis sedikit demi sedikit.
Minangkabau harus tagak istimewa. Bukan untuk melawan negara, tapi justru untuk memperkuatnya. Supaya Pancasila benar-benar hidup, bukan slogan kosong. Dan suara itu mesti datang, bukan dari gedung tinggi, tapi dari *pinggir rumah*, dari suara urang sumando, mamak, niniak mamak, dan generasi muda yang ingin tanah leluhur ini tetap kuat, tetap berdaulat, dan tetap berharga di mata bangsa.