Jakarta,Infopers.com — Seminar nasional bertajuk Blueprint dan Road Map Indonesia + Dunia 2026–2029 Berbasis Mubasyirat yang digelar Majelis Gaza di Gedung SG1 Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, Rabu 10 Desember 2025, menghadirkan dua perspektif besar mengenai arah perubahan Indonesia dan dunia. Ketua Majelis Gaza R. Diki Candra Purnama, MM, dan ahli ekonomi nasional Prof. Dr. Nandan L. Krisna, MM, memaparkan analisis mendalam mengenai dinamika global dan strategi ekonomi Indonesia yang dinilai sangat menentukan dalam periode empat tahun mendatang.
Acara ini mengangkat tema “Tafsir Mubasyirat 2026–2029 (Berita Langit): Analisis Integratif atas Strategi Ruhiyah dalam Menghadapi Krisis Global” dan dihadiri akademisi, analis geopolitik, pengkaji hadis, peneliti kebijakan publik, hingga tokoh masyarakat. Seluruh peserta mengikuti dengan antusias pemaparan mengenai bagaimana Indonesia diproyeksikan menjadi poros penting dalam lanskap perubahan dunia.
Majelis Gaza Paparkan Pola Mubasyirat dan Periode Krisis 2026–2029
Dalam keterangannya kepada media, Ketua Majelis Gaza R. Diki Candra Purnama, MM, menjelaskan bahwa kajian mubasyirat yang dihimpun lembaganya bersandar pada lebih dari 50 hadis sahih tentang mimpi benar sebagai salah satu bentuk kabar gembira dan peringatan bagi umat. Ia menegaskan bahwa mimpi benar bukanlah wahyu baru, tetapi bagian dari atsar kenabian yang menjadi petunjuk dalam menghadapi kondisi kritis.
Diki mengutip riwayat At-Tirmidzi tentang terputusnya kenabian dan tersisanya mimpi benar seorang muslim sebagai bagian dari nubuwah. Ia memaparkan ciri-ciri mimpi benar, seperti sifatnya yang terang, tidak berbelit, sesuai simbol Al-Qur’an dan sunnah, serta mengandung peringatan atau arahan moral.
Dalam paparannya, Majelis Gaza menampilkan hasil kompilasi ribuan laporan mubasyirat dari berbagai wilayah Indonesia yang membentuk pola proyeksi roadmap global 2026–2029. Dari analisis tersebut, Majelis Gaza menyimpulkan bahwa dunia memasuki fase transisi menuju tatanan baru yang ditandai gejolak energi, krisis pangan, konflik geopolitik, serta pergeseran poros kekuatan dari Barat ke Timur.
Diki kemudian menguraikan empat fase utama:
1. Tahun 2026 – Tahun Kesadaran dan Konsolidasi, ketika tekanan ekonomi global meningkat dan masyarakat mulai merasakan perubahan struktur ekonomi serta muncul dinamika sosial politik baru.
2. Tahun 2027 – Tahun Ujian dan Gejolak, yakni ujian integritas kepemimpinan nasional dan rivalitas kuat antarblok global yang berpotensi menekan stabilitas negara.
3. Tahun 2028 – Tahun Peralihan dan Konflik Besar, yang ditandai potensi krisis energi dan pangan dan dapat memengaruhi stabilitas politik nasional dan kawasan.
4. Tahun 2029 – Tahun Penentuan, ketika Indonesia diproyeksikan memasuki fase pemulihan dan penguatan menuju posisi strategis sebagai poros kebangkitan Timur.
Majelis Gaza menutup sesi dengan lima prinsip yang harus menjadi pedoman bangsa: menjadikan spiritual sebagai fondasi kebijakan, memperkuat posisi Indonesia di kawasan Timur, mengurangi ketergantungan pada sistem global yang melemah, memperkuat persatuan berbasis nilai kebenaran dan keadilan, serta mempersiapkan mitigasi menghadapi gejolak global.
Prof. Nandan: Pertumbuhan 6 Persen pada 2026 Hanya Mungkin Jika Ekonomi Rakyat Diperkuat
Pada sesi kedua, ahli ekonomi nasional Prof. Dr. Nandan L. Krisna, MM, memaparkan arah pembangunan ekonomi Indonesia dalam periode yang sama. Dalam keterangannya kepada media, ia menegaskan bahwa prospek ekonomi Indonesia hingga 2029 sangat bergantung pada kemampuan pemerintah memperkuat ekonomi rakyat, menjaga stabilitas fiskal, serta mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam.
“Pertumbuhan ekonomi 6 persen pada 2026 bukan mustahil, tetapi harus dimulai dari sektor riil dan aktivitas produktif masyarakat. Pasar modal penting, tetapi tidak cukup menjadi mesin utama. Pertumbuhan sejati datang dari ekonomi yang hidup di lapangan,” ungkap Prof. Nandan.
Ia menilai bahwa investasi yang menjangkau lapisan bawah akan menghasilkan efek berantai yang kuat terhadap pendapatan masyarakat, penciptaan lapangan kerja, hingga penguatan ekonomi daerah. Oleh karena itu, ia menekankan urgensi penyederhanaan birokrasi, perluasan akses modal, dan penguatan program produktif rakyat.
Terkait kebijakan fiskal, Prof. Nandan menyebut pemerintah berada dalam arah kebijakan yang tepat, tetapi implementasinya masih harus dipercepat. Sinkronisasi antara kebijakan fiskal dan moneter dinilainya menjadi kunci stabilitas pertumbuhan.
“Ketika belanja fiskal menstimulasi rakyat dan kebijakan moneter menjaga inflasi, stabilitas dapat terjaga dan pertumbuhan menjadi lebih berkualitas,” ujarnya.
Ia juga menyoroti pentingnya peningkatan penerimaan negara bukan pajak melalui optimalisasi sumber daya alam. Dalam kondisi daya beli masyarakat yang belum pulih sepenuhnya, kenaikan pajak dianggap tidak ideal.
“Sumber daya alam adalah fondasi besar penerimaan negara. PNBP harus menjadi penopang fiskal ketika pajak tidak bisa dinaikkan. Mekanisme bagi hasil harus transparan dan tidak boleh merugikan daerah,” tegasnya.
Selain faktor ekonomi, Prof. Nandan turut menekankan pentingnya mitigasi bencana sebagai bagian dari strategi ekonomi nasional. Berdasarkan rilis lembaga geologi dan BMKG, ia menilai potensi bencana hidrometeorologi dan gempa besar harus disikapi sebagai ancaman ekonomi.
“Yang terjadi hari ini mungkin belum besar, tetapi eskalasinya bisa meningkat. Negara harus siap sebelum kejadian,” ujarnya.
Prof. Nandan menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa berbagai analisis dan gagasannya telah dipublikasikan melalui jurnal serta media nasional, dan diharapkan dapat menjadi referensi untuk memperkuat kebijakan ekonomi negara.
“Arah kebijakannya sudah benar. Tinggal konsisten dieksekusi agar rakyat benar-benar merasakan dampaknya.”
Seminar kemudian ditutup dengan doa bersama dan sesi foto seluruh peserta sebagai penanda komitmen bersama menghadapi dinamika global 2026–2029.







