*JAKARTA* – Anggota DPR RI sekaligus Ketua MPR RI ke-15 dan Ketua Dewan Pembina Perhimpunan Alumni Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjajaran (UNPAD) menegaskan perlindungan hukum terhadap investasi Non-Fungible Token (NFT) semakin mendesak di tengah pesatnya perkembangan ekonomi digital. Ketiadaan regulasi khusus membuat para investor maupun kreator karya seni digital berada dalam posisi rawan menghadapi kerugian besar. Selain itu, transaksi NFT tanpa payung hukum yang jelas juga membuka potensi sengketa antara investor, pencipta karya, dan pelaku pasar digital.
“NFT adalah fenomena baru dalam ekonomi digital yang tidak bisa diabaikan. Kita berbicara soal potensi ekonomi kreatif yang bisa melahirkan jutaan transaksi bernilai tinggi, tetapi di sisi lain juga ada risiko besar jika tidak ada kepastian hukum. Inilah yang harus segera kita jawab melalui pembaruan hukum nasional,” ujar Bamsoet saat menjadi penguji/oponen ahli dalam Ujian Seminar Hasil Riset Disertasi Mahasiswa Doktor Ilmu Hukum UNPAD Muhammad Ilman Abidin berjudul “Urgensi Perlindungan Hukum terhadap Investasi NFT (Non-Fungible Token) sebagai Komoditi Digital dalam Rangka Pembaharuan Hukum Indonesia”, secara daring dari Jakarta, Senin (1/9/25).
Hadir sebagai penguji lainnya Ketua Sidang/Ketua Promotor Prof. Dr. Ahmad M. Ramli, Anggota Promotor Dr. Laina Rafianti, Oponen Ahli Prof. Dr. Sinta Dewi, Oponen Ahli Dr. Agung Harsoyo dan Oponen Ahli Dr. Tasya Safiranita.
Ketua DPR RI ke-20 dan Ketua Komisi III DPR RI ke-7 ini menjelaskan, NFT yang berbasis teknologi blockchain, banyak digunakan untuk memperjualbelikan karya seni digital. Fenomena Ghozali Everyday pada 2021 misalnya, menjadi bukti bagaimana satu individu bisa menghasilkan miliaran rupiah hanya dengan menjual foto selfie dalam bentuk NFT. Namun di sisi lain, kasus Fake Banksy NFT di Inggris menunjukkan sisi negatifnya, dimana investor bisa merugi besar akibat karya palsu yang beredar tanpa pengawasan.
“Indonesia belum memiliki aturan khusus yang mengatur NFT. Regulasi yang ada seperti UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan UU No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), belum menjawab kebutuhan perlindungan investor dan pencipta karya digital. Bahkan dalam praktik, pengawasan aset digital masih terbatas pada kripto yang diperdagangkan di bursa berjangka melalui Bappebti. Padahal NFT juga berpotensi menjadi instrumen investasi dengan risiko yang sama besarnya,” jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan Dosen Program Pascasarjana Doktor Hukum Universitas Borobudur, Universitas Pertahanan serta Universitas Jayabaya ini memaparkan, saat ini ada beberapa celah hukum yang perlu segera diperbaiki. Pemerintah perlu menegaskan kategori hukum NFT, apakah masuk sebagai komoditi digital, instrumen investasi, atau bagian dari aset keuangan. Di sisi lain, mekanisme implementasi juga harus jelas. Perlu dirinci bagaimana peran OJK, Bappebti, maupun Kementerian terkait dalam melakukan pengawasan, agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan.
“Hal lain adalah masalah perlindungan hak cipta karya seni digital yang sering kali dijadikan objek NFT. Bayangkan kalau sebuah karya seni dijual dalam bentuk NFT tanpa izin penciptanya. Investor bisa rugi, penciptanya juga dirugikan. Karenanya, negara harus hadir dalam memberikan kepastian hukum,” pungkas Bamsoet. (*)